Jumat, 26 Oktober 2012

Cinta dalam Hitungan


“Uh, bosannya suasana hatiku.” keluhku pada Intan.
“Lebih baik berenang saja nanti ngilang tuh bosannya.”
“Benar juga sih, tapi aku males. Males bangets tingkat tinggih nih.”
“Yah sudah ngemil permen saja.”
“Hmm, males juga. Ah, lebih baik tidur siang aja deh, biar adem nih hati.”
“Iya deh, jangan lupa mimpiin aku yah.”
“Ayo, sama-sama kita tidur biar nanti kita ketemu dalam mimpi.”
“Uh, kamu ini. Sudah tidur sana nggak mau ngikut ntar dalam mimpi aku ketularan males.”
“Tadi bilangnya mau minta mimpiin. Oke deh, aku tidur dulu yah.”
            Suasana hatiku memang agak keruh, mungkin hanya tidur yang bisa menghilangkan kekeruhan hati ini. Ku coba memenjamkan mataku menjelang duha yang memanggilku tetapi geritik hati menolak panggilan itu. Tetapi aku tak dapat memejamkan bola mata yang seperti bunga tulip di siang hari. Mengapa aku tak dapat memejamkan mata ini? “Huft, virus-virus males kian merajalela di hati. Hus, pergilah engkau virus males.” gumamku sendirian. Sepertinya aku tak dapat tidur, selain karena cuaca yang cerah juga karena kondisi mata yang tak ingin tertutup. Ku coba tuliskan uneg-uneg lewat dunia maya yang tak asing lagi bagi semua orang. Mungkin hanya dunia maya tempatku menumpahkan keluh kesah. Ku tuliskan status sederhana agar yang membaca mengomentari status itu. “Masya Allah, nih mata kenapa nggak bisa tidur sih?” Tulisan status yang ku ketik. Ku tunggu beberapa detik hingga menit pun berlalu ternyata ada juga yang mengomentari status yang mungkin tidak penting. Di balik layar facebook aku membaca komentar seorang pemuda yang mengatakan jangan lupa baca doa ya ukhti. Komentar sederhana yang menusuk hati. Aku pun mengomentari status itu syukron yah akhi. Dari balik sinilah aku mulai mengenal akhi Aby Zauhari yang juga tinggal satu daerah denganku lewat pesan facebook. Mulai dari cerita satu sama lain sampai tukar nomor kami lakukan berdua. Tak ada yang mengetahui apa yang ku perbuat ini. Termasuk dengan sahabatku Intan.
Aku hanya dapat tutup mulut akan cinta dunia maya ini.
 “Akhi, sudah makan apa belum?” kataku  memberi perhatian.
“Sudah ya ukhtiku tersayang. Lha ukhti sendiri sudah makan apa belum?”
“Sudah dong, akhi.”
“Baguslah kalau begitu. Ukhti, aku ingin makan masakan ukhti. Kapan nih ukhti mau ke rumahku?”
“Hmm, akhi. Ntar deh aku masakin kalau sudah jadi istri akhi. Yah akhi aja yang ke rumah ukhti masa ukhti ke rumah akhi sih?”
“Wah, pasti enak tuh masakan ukhti jadi kepengen cepat-cepat ngelamar ukhti nih. Tunggu aku sebulan lagi yah?”
“Akhi ini bisa aja. Emang mengapa ukhti harus nunggu sebulan lagi akhi?”
“Akhi mau ngebelin mas kawin buat ukhti tapi nih mau nabung dulu.”
“Wah akhi sudah sampai segitunya. Serius nih mau beliin mas kawin?”
“Yaiyalah masa yaiya dong. Boleh aku nelpon ukhti.”
“Boleh, akhi.”
            Dering handphone bersuarakan nyanyian Hadad Alwi terdengar. Aku segera mengangkat handphoneku. Tak sabar rasanya ingin berbicara kepada akhi yang selalu setia menemani langkahku.
“Assalamualaikum, ukhti.”
“Waalaikumsalam, akhi.”
“Ini, ukhti Aminah ya?”
“Iya, akhi.”
“Ukhti, gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah selalu dalam lindungan Allah. Kalau akhi gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah berkat doa ukhti ana dalam keadaan sehat.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Hmm, ukhti mau tidak nikah denganku?”
“Emm, mau tapi ada syaratnya?”
“Apa itu, ukhti? Syarat apa saja bakalan akhi lakukan buat ukhti tersayang.”
“Hmm, akhi bisa ngegombal juga yah. Akhi mau nggak ngapalin 30 juz Alquran buat ukhti.”
“Masya Allah, ukhti. Ana nggak bisa ngapalin segitu kalau 5 juz ana bisa kok.”
“Nggak mau ah. Ukhti maunya 30 juz.”  
“Ukhtiku sayang ana hanya bisa 5 juz tapi kalau sampai segitu maaf ana lebih baik cari pendamping yang lain saja. Maaf yah, ukhti.”
“Oh, begitu yah akhi. Ya sudah, syukron akhi sudah mampir di hati anti.”
“Jadi ana ditolak nih. Mengapa sih syaratnya susah bangets ukhti?”
“Iya ditolak akhi. Itu bukan susah akhi. Anti memberi syarat itu agar akhi semakin mencintai firman Allah tapi akhi malah mencintai aku. Jadi lebih baik akhi cari yang lebih baik lagi dari anti. Syukron akhi atas semua perhatiannya selama ini.”
“Maafkan ana yang tidak bisa memenuhi syarat anti tapi jauh di lubuk hati ana, ana tulus mencintai ukhti karena Allah. Mungkin ukhti tidak tahu di sini ana sangat merindukan ukhti. Tapi kalau ukhti maunya seperti ini ana bisa terima. Mungkin juga karena kita memang bukan berjodoh, ukhti. Ya sudah, ana bisa menerima ini. Syukron juga atas perhatian ukhti. Assalamualaikum.”
            Setelah percakapan yang aku akhiri dengan salam itu sejenak aku merenungi apa yang sedang aku perbuat. Apakah aku salah memberi syarat seperti itu? Itukan satu pembuktiaan cinta. Ya sudahlah, aku hanya mengakhiri jalinan cinta yang baru berumur sebulan itu. Sungguh perkenalan dan percintaan yang terbilang singkat. Semenjak itulah aku mulai meninggalkan dunia maya dan menghapus pertemanan dengan Aby Zauhari. Hal ini aku lakukan hanya tak ingin mengulang masa lalu yang kelam bersamanya. Biarlah cerita ini hanya aku dan dia yang mengetahui itu. Di balik sini ada hikmah yang aku ambil yaitu aku tak ingin lagi mengulang kesalahan yang sama, mencintai orang yang tak jelas dari mana keberadaannya. Aku yakin Allah sudah mengatur jodoh terbaik dalam hidupku. Bukan jodoh yang sesuai dengan keinginanku tetapi memang jodoh yang sesuai dengan apa yang aku butuhkan. Biarkan waktu yang menjawab akan hadirnya jodohku, mungkin dari sini juga aku lebih introspeksi doa bahwa di dalam doa tak perlu terburu-buru meminta kepada Allah untuk menghadirkan jodoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar