“Uh,
bosannya suasana hatiku.” keluhku pada Intan.
“Lebih
baik berenang saja nanti ngilang tuh bosannya.”
“Benar
juga sih, tapi aku males. Males bangets tingkat tinggih nih.”
“Yah
sudah ngemil permen saja.”
“Hmm,
males juga. Ah, lebih baik tidur siang aja deh, biar adem nih hati.”
“Iya
deh, jangan lupa mimpiin aku yah.”
“Ayo,
sama-sama kita tidur biar nanti kita ketemu dalam mimpi.”
“Uh,
kamu ini. Sudah tidur sana nggak mau ngikut ntar dalam mimpi aku ketularan
males.”
“Tadi
bilangnya mau minta mimpiin. Oke deh, aku tidur dulu yah.”
Suasana hatiku memang agak keruh,
mungkin hanya tidur yang bisa menghilangkan kekeruhan hati ini. Ku coba memenjamkan
mataku menjelang duha yang memanggilku tetapi geritik hati menolak panggilan
itu. Tetapi aku tak dapat memejamkan bola mata yang seperti bunga tulip di
siang hari. Mengapa aku tak dapat memejamkan mata ini? “Huft, virus-virus males
kian merajalela di hati. Hus, pergilah engkau virus males.” gumamku sendirian. Sepertinya
aku tak dapat tidur, selain karena cuaca yang cerah juga karena kondisi mata
yang tak ingin tertutup. Ku coba tuliskan uneg-uneg lewat dunia maya yang tak
asing lagi bagi semua orang. Mungkin hanya dunia maya tempatku menumpahkan
keluh kesah. Ku tuliskan status sederhana agar yang membaca mengomentari status
itu. “Masya Allah, nih mata kenapa nggak bisa tidur sih?” Tulisan status yang
ku ketik. Ku tunggu beberapa detik hingga menit pun berlalu ternyata ada juga
yang mengomentari status yang mungkin tidak penting. Di balik layar facebook
aku membaca komentar seorang pemuda yang mengatakan jangan lupa baca doa ya
ukhti. Komentar sederhana yang menusuk hati. Aku pun mengomentari status itu
syukron yah akhi. Dari balik sinilah aku mulai mengenal akhi Aby Zauhari yang
juga tinggal satu daerah denganku lewat pesan facebook. Mulai dari cerita satu
sama lain sampai tukar nomor kami lakukan berdua. Tak ada yang mengetahui apa
yang ku perbuat ini. Termasuk dengan sahabatku Intan.
Aku
hanya dapat tutup mulut akan cinta dunia maya ini.
“Akhi, sudah makan apa belum?” kataku memberi perhatian.
“Sudah
ya ukhtiku tersayang. Lha ukhti sendiri sudah makan apa belum?”
“Sudah
dong, akhi.”
“Baguslah
kalau begitu. Ukhti, aku ingin makan masakan ukhti. Kapan nih ukhti mau ke
rumahku?”
“Hmm,
akhi. Ntar deh aku masakin kalau sudah jadi istri akhi. Yah akhi aja yang ke
rumah ukhti masa ukhti ke rumah akhi sih?”
“Wah,
pasti enak tuh masakan ukhti jadi kepengen cepat-cepat ngelamar ukhti nih.
Tunggu aku sebulan lagi yah?”
“Akhi
ini bisa aja. Emang mengapa ukhti harus nunggu sebulan lagi akhi?”
“Akhi
mau ngebelin mas kawin buat ukhti tapi nih mau nabung dulu.”
“Wah
akhi sudah sampai segitunya. Serius nih mau beliin mas kawin?”
“Yaiyalah
masa yaiya dong. Boleh aku nelpon ukhti.”
“Boleh,
akhi.”
Dering handphone bersuarakan
nyanyian Hadad Alwi terdengar. Aku segera mengangkat handphoneku. Tak sabar
rasanya ingin berbicara kepada akhi yang selalu setia menemani langkahku.
“Assalamualaikum,
ukhti.”
“Waalaikumsalam,
akhi.”
“Ini,
ukhti Aminah ya?”
“Iya,
akhi.”
“Ukhti,
gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah
selalu dalam lindungan Allah. Kalau akhi gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah
berkat doa ukhti ana dalam keadaan sehat.”
“Syukurlah
kalau begitu.”
“Hmm,
ukhti mau tidak nikah denganku?”
“Emm,
mau tapi ada syaratnya?”
“Apa
itu, ukhti? Syarat apa saja bakalan akhi lakukan buat ukhti tersayang.”
“Hmm,
akhi bisa ngegombal juga yah. Akhi mau nggak ngapalin 30 juz Alquran buat
ukhti.”
“Masya
Allah, ukhti. Ana nggak bisa ngapalin segitu kalau 5 juz ana bisa kok.”
“Nggak
mau ah. Ukhti maunya 30 juz.”
“Ukhtiku
sayang ana hanya bisa 5 juz tapi kalau sampai segitu maaf ana lebih baik cari
pendamping yang lain saja. Maaf yah, ukhti.”
“Oh,
begitu yah akhi. Ya sudah, syukron akhi sudah mampir di hati anti.”
“Jadi
ana ditolak nih. Mengapa sih syaratnya susah bangets ukhti?”
“Iya
ditolak akhi. Itu bukan susah akhi. Anti memberi syarat itu agar akhi semakin
mencintai firman Allah tapi akhi malah mencintai aku. Jadi lebih baik akhi cari
yang lebih baik lagi dari anti. Syukron akhi atas semua perhatiannya selama
ini.”
“Maafkan
ana yang tidak bisa memenuhi syarat anti tapi jauh di lubuk hati ana, ana tulus
mencintai ukhti karena Allah. Mungkin ukhti tidak tahu di sini ana sangat
merindukan ukhti. Tapi kalau ukhti maunya seperti ini ana bisa terima. Mungkin
juga karena kita memang bukan berjodoh, ukhti. Ya sudah, ana bisa menerima ini.
Syukron juga atas perhatian ukhti. Assalamualaikum.”
Setelah percakapan yang aku akhiri
dengan salam itu sejenak aku merenungi apa yang sedang aku perbuat. Apakah aku
salah memberi syarat seperti itu? Itukan satu pembuktiaan cinta. Ya sudahlah,
aku hanya mengakhiri jalinan cinta yang baru berumur sebulan itu. Sungguh
perkenalan dan percintaan yang terbilang singkat. Semenjak itulah aku mulai
meninggalkan dunia maya dan menghapus pertemanan dengan Aby Zauhari. Hal ini
aku lakukan hanya tak ingin mengulang masa lalu yang kelam bersamanya. Biarlah
cerita ini hanya aku dan dia yang mengetahui itu. Di balik sini ada hikmah yang
aku ambil yaitu aku tak ingin lagi mengulang kesalahan yang sama, mencintai
orang yang tak jelas dari mana keberadaannya. Aku yakin Allah sudah mengatur jodoh
terbaik dalam hidupku. Bukan jodoh yang sesuai dengan keinginanku tetapi memang
jodoh yang sesuai dengan apa yang aku butuhkan. Biarkan waktu yang menjawab
akan hadirnya jodohku, mungkin dari sini juga aku lebih introspeksi doa bahwa
di dalam doa tak perlu terburu-buru meminta kepada Allah untuk menghadirkan
jodoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar