Hari
sudah beranjak siang. Cuaca yang dingin membuat tubuhku terasa sulit untuk
digerakkan. Uh…malasnya untuk bangun. Hari pertama yang membosankan. Aku
bernama Angga, mahasiswa semester akhir dari Fakultas Pertanian Universitas
Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Selama tiga bulan ke depan, aku dan lima orang temanku mendapat tugas
untuk membantu masyarakat dalam menanggulangi masalah pertanian yang sedang
dialami masyarakat di daerah Kabupaten Banjar, tepatnya di Desa Kuin Besar,
Kecamatan Aluh-Aluh.
“Wuiii,
bangun…bangun! Jangan malas kayak gitu dong! Hari pertama kan harus menunjukkan
kesan yang bagus di mata penduduk desa ini.” Khotbah Zaenal mulai berkumandang.
Ach, ustad gagal itu mulai mengeluarkan jurusnya.
“Iya…iya,
berisik amat, sebentar lagilah, masih pagi juga!”
“Apa?
Masih pagi? Pagi dari Hongkong? itu lihat jam tanganmu!
Aku
melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangan kiriku. Ya allah, ternyata
sudah pukul 07.30. Tapi, suasananya
seperti masih subuh. Pelan-pelan aku bangun, masih terdengar omelan dan
gerutuan Ustad gagal itu di kamar sebelah. Sarapan pagi yang membosankan.
*
* * ***
Hari
pertama di desa ini kami lewati dengan cukup membosankan. Aku harus pasang muka
ramah kepada setiap orang yang menyapaku. Apalagi hal itu sudah ditegaskan
Zaenal, pimpinan rombongan kami. Aku juga tidak enak dengan kebaikan Pak
Ruslan, kepala desa di kampung ini. Apalagi beliau telah berkenan meminjamkan
salah salah satu rumah beliau untuk kami tempati selama kami bertugas di desa
ini. Dan, yang lebih penting adalah gratis.
Acara
perkenalan dengan warga desa ini berlangsung dengan hangat dan ramah. Meraka
menyambut kami dengan sangat baik, malah terkesan sangat berlebihan. Tapi,
mungkin beginilah cara warga sini menghormati tamu, apalagi orang kota seperti
kami, pikirku. Terbersit rasa syukur di dalam hatiku, karena pada awalnya aku
merasakan kecemasan kalau masyarakat di sini tidak bisa menerima kehadiran
kami.
“Assalamualaikum
warahmatullahhiwabarakatuh!” Terdengar salam menggema merdu dan nyaring dari
dari arah luar aula balai desa, tempat di adakannya acara perkenalan ini.
Semua
yang hadir langsung berdiri menyambut kedatangan orang itu, bahkan Pak Ruslan
langsung menyongsong ke pintu dengan langkah tergopoh-gopoh. Aku memandang kea
rah orang yang baru datang itu. Wajahnya memancarakan aura yang cukup kuat.
Wajahnya agak terkesan keras dan dingin. Matanya memandang tajam ke seluruh
penjuru ruangan sambil menyunggingkan senyum tipis.Usianya kira-kira 40-an,
dengan postur tubuh yang tinggi tegap. Dia mengenakan pakaian serba putih.
Jubah putih ditambah surban berwarna yang sama terlihat sangat mencolok dan
menambah tinggi prabawanya. Dari tadi, mulutnya selalu komat-kamit dan
tangannya bergerak-gerak berputar mengiringi untaian tasbih yang sejak tadi
tidak lepas dari pegangannya.
Tiba-tiba
aku merasakan dia menatap tajam ke arahku.Entah datang dari mana, perasaan
gugup langsung saja memenuhi sendi-sendi di setiap pergelangan tubuhku.
“Ga…
cepat berdiri, kamu lagi disorot tuch!” Bisik Zaenal sambil menyikut
pinggangku. Aku baru saja tersadar ketika semua mata memandang ke arahku, ada
tatapan kurang suka yang terpancar.
“Cepat
berdiri, Ga!” Zaenal menyikut dengan lebih keras.
“Iya…iya!”
bisikku sambil melotot kea rah Zaenal. Aku berdiri sambil berusaha tersenyum
untuk menutupi perasaan salah tingkahku.
Pak
Ruslan dan beberapa pamong desa segera mempersilakan orang itu untuk duduk di
tempat yang istimewa. Kenapa jadi istimewa? Hal itu dikarenakan tempat itu
sudah diatur sedemikian rupa. Kursi berukuran besar dan penuh ukiran, seperti
singgasana raja –raja Jawa zaman dulu. Di depan kursi itu terdapat sebuah meja
yang sama indahnya dengan kursi tadi. Di atas meja itu terdapat hidangan dan
makanan kecil, seperti buah-buahan, kue-kue jajanan pasar, dan minuman yang
sudah ditata sedemikian rupa sehingga terlihat cantik dan menarik.
Suasana
ruangan yang awalnya dipenuhi dengan gelak tawa dan obrolan dari masyarakat
desa mendadak sepi dan hening. Semua mata menatap ke depan. Mereka menunggu
wejangan dan nasihat dari orang yang berada di depan mereka. Tiba-tiba Pak
Ruslan berdiri. Dia maju beberapa langkah ke depan. Sebelum berbicara, dia
mengangguk hormat kepada laki-laki berjubah itu.
“Kyai
Machmud AL-Khilafi yang kami muliakan, pamong desa yang terhormat, seluruh
warga desa yang berbahagia, serta para mahasiswa yang kami banggakan. Kita
patut bersyukur ke hadirat Allah SWT karena berkat karunia-Nya kita dapat
bekumpul di tempat ini untuk kembali mendengarkan petuah-petuah dan
wejangan-wejangan dari orang yang paling kita hormati dan muliakan, Kyai
Machmud Al-Khilafi.” Pak Ruslan kembali
membungkuk hormat ke arah kyai itu.
“Ah,
terlalu berlebihan sikap Pak Ruslan itu. Dia kan kepala desa, dia juga punya
martabat dan kekuasaan. Apa sich hebatnya kyai itu selain dari jubahnya yang
mentereng. Penasaran rasanya dengan orang itu.” Pikirku dalam hati.
“Assalamualaikum
warahmatullahhiwabarakatuh …. !” suara itu menggema nyaring, agak berat, tapi
berwibawa. Wow, hebat juga ternyata orang ini, pantas dia sangat dimuliakan di
desa ini.
Warga
desa begitu antusias dan tekun mendengarkan wejangan dari kyai itu. Isinya sich
biasa aja, tetapi teknik penyampaian bahasanya benar-benar luar biasa. Tidak
sampai setengah jam, kyai itu mengakhiri wejangannya. Kemudian dilanjutkan
dengan doa bersama. Kembali kyai itu menunjukkan kepaiawaiannya. Semua warga
begitu khusyu, bahkan ada beberapa orang yang kelihatan menitikkan air mata.
Doa itu tersebut begitu mneyentuh kalbu semua orang, termasuk aku, apalagi
semua doa disampaikan dengan bahasa Indonesia.
Sosok
Sang Imam di balik jubah putihnya membuatku penasaran dengan watak yang
tersimpan di antara butiran tasbihnya. Sekarang aku baru tahu bahwa Sang Imam
itu sering menyumbangkan uangnya demi perbaikan pertanian Aluh-aluh. Hal ini
kuketahui dari salah satu penduduk desa yang bercerita kepadaku di sela-sela
acara itu. Itulah yang kukagumi darinya.Dia imam yang patut diacungi jempol. Aku beserta temanku menjabat
tangannya, mencium tangan yang selalu menebarkan kebaikan kepada semua orang
itu. Setelah selesai acara, Sang Imam kembali ke tempatnya tinggal yang
beralamatkan di jalan Akhmad Yani kilometer 22,5 Landasan Ulin Gang Hidayah RT
6. Aku meminta alamatnya dari seorang penduduk desa bernama Hayati. Sang Imam
itu dia memang asli orang Aluh-aluh tetapi dia tidak tinggal di desa itu.
Seminggu dua kali dia pergi ke Aluh-aluh. Memang, kebanyakan orang yang
mengundang dia untuk ceramah berasal dari daerah perkotaaan, seperti
Banjarbaru.
*******
Tiga bulan di daerah Aluh-aluh
bukanlah waktu yang pendek. Aku banyak mendapatkan pengalaman di desa ini. Desa
ini menyimpan sejuta keindahan fanorama alam yang sangat menakjubkan. Di sini
udara yang kurasakan sangatlah sejuk dan damai, hemparan padi yang luas
membuatku bersyukur dengan lukisan indah yang diberikan Sang Khaliq. Hidup
dalam kebersamaan menyadarkan aku untuk lebih merasakan apa artinya hidup.
Hidup dalam kesendirian bertemakan sepi kadang kala membuat batinku hampa,
kosong tak bermakna. Di kota penuh persaingan,aku tidak boleh merasakan yang
namanya putus asa,berbeda jauh bila di desa ini, aku merasakan arti sebuah kebebasan. Penduduk desa ini sangatlah
menonjolkan adat istiadat, seperti semua orang menutup rapat rumahnya sebelum
kumandang azan Magrib terdengar. Teringat olehku akan bayangan kedua orang
tuaku. Ayah yang selalu mengajarkan aku untuk tidak menggantungkan hidup dengan
orang lain. Ibu yang memberiku kasih sayang tulus. Memang jauh dari keluarga
sangatlah sedih. Semua keluargaku tinggal di Jawa, tepatnya di Pulau Kangean,
Kabupaten Sumenep. Ingin aku menangis, tapi aku tidak bisa. Karena aku adalah
lelaki. Aku harus bersemangat meraih mimpiku. Menyelesaikan skripsi-skripsi
yang terkadang membuatku lemah mental. Menjadi insinyur pertanian, itulah yang
diharapkan dari kedua orang tuaku yang menaruh harapan besar kepadaku.
Angin
yang menyapa seperti menyadarkan aku bahwa aku harus pergi ke kotaku tercinta,
kota yang menyimpan sejuta impian yang diharapkan. Banjarbaruku ibarat butiran
zamrud khatulistiwa.
“Terima
kasih, Pak atas semua kebaikan Bapak. Sungguh kami tidak dapat membalas budi
pekerti Bapak dan semua orang desa. Maafkan kami juga merepotkan Bapak.” kataku
dengan serius.
“Tidak
apa-apa, Nak.Jangan sungkan untuk datang kemari. Kami pasti akan senang
menerima kehadiran kalian semua. Terima kasih juga telah memberikan pengetahuan
dalam menanggulangi pertanian. Semua informasi yang kalian berikan akan kami
kembangkan demi mewujudkan perbaikan pertanian di desa kami. Semoga kalian
menjadi orang yang sukses.”
“Aamiin,
semoga amal ibadah Bapak diterima Allah.” kata Zaenal menjabat tangan Pak
Ruslan.
Pak Ruslan hanya dapat tersenyum
dengan perkataan Zaenal.
“Gila,
seperti orang mau meninggal saja. Dasar ustadz gatot.”kataku dalam hati.
*********
“Siapa
itu?”kataku memikirkan seseorang yang tak asing kulihat.
“Diakan
kyai yang waktu itu kulihat.Tapi kok,kyai itu berpakaian preman? Bukankah dia
sang imam. Benarkah dia..?’
Aku mulai mengikuti langkah kakinya.
Sosok Sang Imam memberikan tanda tanya kepadaku.
“Wah,
gila,kyai itu berjudi. Katanya kyai, apakah hanya sekedar kyai-kyaian. Berarti
uang yang diberikan untuk masyarakat Aluh-aluh itu berasal dari uang haram.
Pantasan pertanian di daerah Aluh-aluh selalu gagal panen mungkin ini karena
tercampur dengan yang haram. Dasar kyai munafik.’ kataku dalam hati yang
bertanya.
Langkah kakiku pun ingin
menghampirinya. Tetapi ada rasa takut dibenakku, karena banyak orang yang ikut
berjudi di tempat itu.Jubahnya hanyalah polesan belaka untuk menutupi aibnya
yang sudah terbongkar itu.
“Kyai…
benar ini Kyai?” tanyaku sopan.
Sang Kyai pun melihat ke wajahku
dengan tatapan tajam seperti pertama kali aku memandanginya sewaktu di
Aluh-aluh.
“Bukan.”
katanya dengan nada keras.
“Tapi
saya kenal dengan Anda. Andakan kyai yang memberikan wejangan sewaktu di Aluh-aluh. Sudahlah jangan berbohong, seorang
kyai memang hanya dapat berceramah,
tetapi praktiknya palsu belaka. Buat apa bersembunyi di balik jubah, jika perbuatan Anda tidak mencerminkan sucinya makna pakaian yang
dipaka .”kataku berbicara kasar di antara orang-orang berjudi itu.
“Tutup
mulutmu anak muda. Berani kau denganku? Lihat ini tatoku, aku preman yang sangat disegani di kawasan ini. Kamu lihat mereka. Mereka
adalah anak buahku.”
Aku terkejut dengan ucapan kyai itu.
Aku merasa takut kalau-kalau dia berniat
menyakiti atau malah membunuhku.”Aku belum siap meninggal,aku ingin
menyelesaikan kuliahku yang memerlukan pengorbanan besar di dalamnya. Oh Tuhan,
tolong aku.” gumamku dalam hati. Segerombolan preman itu ingin membunuhku.
Begitu pula dengan kyai yang kukagumi sebelumnya. Dia memperlihatkan belati
tajam yang tersimpan di balik tubuhnya. Tubuhku gemetar, jantungku berdetak
sangat cepat. Berberapa tetes keringat membanjiri wajah dan badanku. Ya Allah,
Lindungi hamba-Mu ini. Aku terus meratap dalam doa.
“Tangkap
bocah ingusan itu, jangan sampai dia membongkar kedok kita!” suara berat dan
lantang itu terdengar bagai petir di siang bolong. Sungguh menakutkan. Beberapa
lelaki berbadan kekar berjalan ke arahku. Wajahnya terlihat menyerigai. Aku
semakin gemetaran. Aduh, kenapa kakiku terasa kaku. Aku tidak bisa menggerakkan
kedua kakiku. Aku tinggal menunggu nasib. Ya Allah…haruskah aku kembali ke
pangkuan-Mu lewat tangan-tangan orang-orang jahat ini.
“Toloooooooooongggg!”
aku berteriak sejadi-jadinya. Tiba-tiba aku merasa tubuhku jatuh ke lantai yang
dingin. Mataku membuka. Astaga, mengapa aku meringkuk di lantai kamarku.
Logikaku mulai menelaaah semua yang terjadi.
”Hah,untunglah
aku masih hidup.Ternyata ini hanyalah mimpi belaka.Tetapi semua terasa nyata,
apakah benar di balik jubah Sang Imam itu tersimpan perbuatan maksiat. Aku
hanya dapat menghela nafas dari mimpi-mimpi.
Secarik kertas bertuliskan alamat
sang imam. Ada tekad di batinku untuk menemui Sang Imam.
**********
“Assalamualaikum.”kataku
sambil mengetuk pintu.
“Walaikumsalam
warahmatulahhiwabarakatuh.”jawab yang di balik pintu.
“Ada
perlu apa? Silahkan masuk dulu.”
“Maksud
kedatangan saya ke mari untuk menanyakan sesuatu. Apakah kiranya Kyai
memperkenankan saya menanyakan hal ini.”
“Silakan
saja, tidak apa-apa.”
“Apakah
Kyai suka berjudi dan melakukan hal-hal yang di luar ajaran agama.Saya tahu
Kyai sangatlah ahli agama dan jauh dari maksiat. Maaf, Kyai kalau pertanyaan saya menyinggung karena
saya bermimpi kurang baik tentang Kyai.”
“Mimpi
itu hanyalah bunga tidur, saya tidak pernah berjudi. Semua saya dapatkan dari
Allah SWT yang melimpahkan rezeki-Nya kepada saya. Alhamdulillah, berkat
sedekah yang saya diberikan, Allah telah
melimpahkan harta yang melimpah sehingga
saya dapat beramal saleh kepada semua orang.”
“Terima
kasih, Kyai. Itu saja yang ingin saya beritahukan kepada Kyai. Kalau begitu
saya pulang dulu. Sekali lagi saya mohon ampun dan maaf karena telah berburuk
sangka kepada Kyai. Assalamualaikum warahmatulahhiwabarakatuh..”
Ah, sebuah kesadaran menyeruak dalam
batinku bahwa sebuah kecurigaan tidaklah pasti merupakan kebenaran. Apalagi,
dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa berburuk sangka adalah sesuatu yang membawa
petaka dan dosa. Maafkan aku, Kyai. Serentetan maaf masih berkecamuk dalam
batinku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar