Senin, 15 Oktober 2012

Jubah Sang Imam

Hari sudah beranjak siang. Cuaca yang dingin membuat tubuhku terasa sulit untuk digerakkan. Uh…malasnya untuk bangun. Hari pertama yang membosankan. Aku bernama Angga, mahasiswa semester akhir dari Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Selama tiga bulan ke depan,  aku dan lima orang temanku mendapat tugas untuk membantu masyarakat dalam menanggulangi masalah pertanian yang sedang dialami masyarakat di daerah Kabupaten Banjar, tepatnya di Desa Kuin Besar, Kecamatan Aluh-Aluh.
“Wuiii, bangun…bangun! Jangan malas kayak gitu dong! Hari pertama kan harus menunjukkan kesan yang bagus di mata penduduk desa ini.” Khotbah Zaenal mulai berkumandang. Ach, ustad gagal itu mulai mengeluarkan jurusnya.
“Iya…iya, berisik amat, sebentar lagilah, masih pagi juga!”
“Apa? Masih pagi? Pagi dari Hongkong? itu lihat jam tanganmu!
Aku melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangan kiriku. Ya allah, ternyata sudah pukul 07.30. Tapi, suasananya  seperti masih subuh. Pelan-pelan aku bangun, masih terdengar omelan dan gerutuan Ustad gagal itu di kamar sebelah. Sarapan pagi yang membosankan.

* * * ***
Hari pertama di desa ini kami lewati dengan cukup membosankan. Aku harus pasang muka ramah kepada setiap orang yang menyapaku. Apalagi hal itu sudah ditegaskan Zaenal, pimpinan rombongan kami. Aku juga tidak enak dengan kebaikan Pak Ruslan, kepala desa di kampung ini. Apalagi beliau telah berkenan meminjamkan salah salah satu rumah beliau untuk kami tempati selama kami bertugas di desa ini. Dan, yang lebih penting adalah gratis.
Acara perkenalan dengan warga desa ini berlangsung dengan hangat dan ramah. Meraka menyambut kami dengan sangat baik, malah terkesan sangat berlebihan. Tapi, mungkin beginilah cara warga sini menghormati tamu, apalagi orang kota seperti kami, pikirku. Terbersit rasa syukur di dalam hatiku, karena pada awalnya aku merasakan kecemasan kalau masyarakat di sini tidak bisa menerima kehadiran kami.
“Assalamualaikum warahmatullahhiwabarakatuh!” Terdengar salam menggema merdu dan nyaring dari dari arah luar aula balai desa, tempat di adakannya acara perkenalan ini.
Semua yang hadir langsung berdiri menyambut kedatangan orang itu, bahkan Pak Ruslan langsung menyongsong ke pintu dengan langkah tergopoh-gopoh. Aku memandang kea rah orang yang baru datang itu. Wajahnya memancarakan aura yang cukup kuat. Wajahnya agak terkesan keras dan dingin. Matanya memandang tajam ke seluruh penjuru ruangan sambil menyunggingkan senyum tipis.Usianya kira-kira 40-an, dengan postur tubuh yang tinggi tegap. Dia mengenakan pakaian serba putih. Jubah putih ditambah surban berwarna yang sama terlihat sangat mencolok dan menambah tinggi prabawanya. Dari tadi, mulutnya selalu komat-kamit dan tangannya bergerak-gerak berputar mengiringi untaian tasbih yang sejak tadi tidak lepas dari pegangannya.
Tiba-tiba aku merasakan dia menatap tajam ke arahku.Entah datang dari mana, perasaan gugup langsung saja memenuhi sendi-sendi di setiap pergelangan tubuhku.
“Ga… cepat berdiri, kamu lagi disorot tuch!” Bisik Zaenal sambil menyikut pinggangku. Aku baru saja tersadar ketika semua mata memandang ke arahku, ada tatapan kurang suka yang terpancar.
“Cepat berdiri, Ga!” Zaenal menyikut dengan lebih keras.
“Iya…iya!” bisikku sambil melotot kea rah Zaenal. Aku berdiri sambil berusaha tersenyum untuk menutupi perasaan salah tingkahku.
Pak Ruslan dan beberapa pamong desa segera mempersilakan orang itu untuk duduk di tempat yang istimewa. Kenapa jadi istimewa? Hal itu dikarenakan tempat itu sudah diatur sedemikian rupa. Kursi berukuran besar dan penuh ukiran, seperti singgasana raja –raja Jawa zaman dulu. Di depan kursi itu terdapat sebuah meja yang sama indahnya dengan kursi tadi. Di atas meja itu terdapat hidangan dan makanan kecil, seperti buah-buahan, kue-kue jajanan pasar, dan minuman yang sudah ditata sedemikian rupa sehingga terlihat cantik dan menarik.
Suasana ruangan yang awalnya dipenuhi dengan gelak tawa dan obrolan dari masyarakat desa mendadak sepi dan hening. Semua mata menatap ke depan. Mereka menunggu wejangan dan nasihat dari orang yang berada di depan mereka. Tiba-tiba Pak Ruslan berdiri. Dia maju beberapa langkah ke depan. Sebelum berbicara, dia mengangguk hormat kepada laki-laki berjubah itu.
“Kyai Machmud AL-Khilafi yang kami muliakan, pamong desa yang terhormat, seluruh warga desa yang berbahagia, serta para mahasiswa yang kami banggakan. Kita patut bersyukur ke hadirat Allah SWT karena berkat karunia-Nya kita dapat bekumpul di tempat ini untuk kembali mendengarkan petuah-petuah dan wejangan-wejangan dari orang yang paling kita hormati dan muliakan, Kyai Machmud Al-Khilafi.”  Pak Ruslan kembali membungkuk hormat ke arah kyai itu.
“Ah, terlalu berlebihan sikap Pak Ruslan itu. Dia kan kepala desa, dia juga punya martabat dan kekuasaan. Apa sich hebatnya kyai itu selain dari jubahnya yang mentereng. Penasaran rasanya dengan orang itu.” Pikirku dalam hati.
“Assalamualaikum warahmatullahhiwabarakatuh …. !” suara itu menggema nyaring, agak berat, tapi berwibawa. Wow, hebat juga ternyata orang ini, pantas dia sangat dimuliakan di desa ini.

Warga desa begitu antusias dan tekun mendengarkan wejangan dari kyai itu. Isinya sich biasa aja, tetapi teknik penyampaian bahasanya benar-benar luar biasa. Tidak sampai setengah jam, kyai itu mengakhiri wejangannya. Kemudian dilanjutkan dengan doa bersama. Kembali kyai itu menunjukkan kepaiawaiannya. Semua warga begitu khusyu, bahkan ada beberapa orang yang kelihatan menitikkan air mata. Doa itu tersebut begitu mneyentuh kalbu semua orang, termasuk aku, apalagi semua doa disampaikan dengan bahasa Indonesia.
Sosok Sang Imam di balik jubah putihnya membuatku penasaran dengan watak yang tersimpan di antara butiran tasbihnya. Sekarang aku baru tahu bahwa Sang Imam itu sering menyumbangkan uangnya demi perbaikan pertanian Aluh-aluh. Hal ini kuketahui dari salah satu penduduk desa yang bercerita kepadaku di sela-sela acara itu. Itulah yang kukagumi darinya.Dia imam yang patut diacungi  jempol. Aku beserta temanku menjabat tangannya, mencium tangan yang selalu menebarkan kebaikan kepada semua orang itu. Setelah selesai acara, Sang Imam kembali ke tempatnya tinggal yang beralamatkan di jalan Akhmad Yani kilometer 22,5 Landasan Ulin Gang Hidayah RT 6. Aku meminta alamatnya dari seorang penduduk desa bernama Hayati. Sang Imam itu dia memang asli orang Aluh-aluh tetapi dia tidak tinggal di desa itu. Seminggu dua kali dia pergi ke Aluh-aluh. Memang, kebanyakan orang yang mengundang dia untuk ceramah berasal dari daerah perkotaaan, seperti Banjarbaru.
*******

            Tiga bulan di daerah Aluh-aluh bukanlah waktu yang pendek. Aku banyak mendapatkan pengalaman di desa ini. Desa ini menyimpan sejuta keindahan fanorama alam yang sangat menakjubkan. Di sini udara yang kurasakan sangatlah sejuk dan damai, hemparan padi yang luas membuatku bersyukur dengan lukisan indah yang diberikan Sang Khaliq. Hidup dalam kebersamaan menyadarkan aku untuk lebih merasakan apa artinya hidup. Hidup dalam kesendirian bertemakan sepi kadang kala membuat batinku hampa, kosong tak bermakna. Di kota penuh persaingan,aku tidak boleh merasakan yang namanya putus asa,berbeda jauh bila di desa ini,  aku merasakan arti sebuah  kebebasan. Penduduk desa ini sangatlah menonjolkan adat istiadat, seperti semua orang menutup rapat rumahnya sebelum kumandang azan Magrib terdengar. Teringat olehku akan bayangan kedua orang tuaku. Ayah yang selalu mengajarkan aku untuk tidak menggantungkan hidup dengan orang lain. Ibu yang memberiku kasih sayang tulus. Memang jauh dari keluarga sangatlah sedih. Semua keluargaku tinggal di Jawa, tepatnya di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep. Ingin aku menangis, tapi aku tidak bisa. Karena aku adalah lelaki. Aku harus bersemangat meraih mimpiku. Menyelesaikan skripsi-skripsi yang terkadang membuatku lemah mental. Menjadi insinyur pertanian, itulah yang diharapkan dari kedua orang tuaku yang menaruh harapan besar kepadaku.
Angin yang menyapa seperti menyadarkan aku bahwa aku harus pergi ke kotaku tercinta, kota yang menyimpan sejuta impian yang diharapkan. Banjarbaruku ibarat butiran zamrud khatulistiwa.
“Terima kasih, Pak atas semua kebaikan Bapak. Sungguh kami tidak dapat membalas budi pekerti Bapak dan semua orang desa. Maafkan kami juga merepotkan Bapak.” kataku dengan serius.
“Tidak apa-apa, Nak.Jangan sungkan untuk datang kemari. Kami pasti akan senang menerima kehadiran kalian semua. Terima kasih juga telah memberikan pengetahuan dalam menanggulangi pertanian. Semua informasi yang kalian berikan akan kami kembangkan demi mewujudkan perbaikan pertanian di desa kami. Semoga kalian menjadi orang yang sukses.”

“Aamiin, semoga amal ibadah Bapak diterima Allah.” kata Zaenal menjabat tangan Pak Ruslan.
            Pak Ruslan hanya dapat tersenyum dengan perkataan Zaenal.
“Gila, seperti orang mau meninggal saja. Dasar ustadz gatot.”kataku dalam hati.
                                                            *********
“Siapa itu?”kataku memikirkan seseorang yang tak asing kulihat.
“Diakan kyai yang waktu itu kulihat.Tapi kok,kyai itu berpakaian preman? Bukankah dia sang imam. Benarkah dia..?’
            Aku mulai mengikuti langkah kakinya. Sosok Sang Imam memberikan tanda tanya kepadaku.
“Wah, gila,kyai itu berjudi. Katanya kyai, apakah hanya sekedar kyai-kyaian. Berarti uang yang diberikan untuk masyarakat Aluh-aluh itu berasal dari uang haram. Pantasan pertanian di daerah Aluh-aluh selalu gagal panen mungkin ini karena tercampur dengan yang haram. Dasar kyai munafik.’ kataku dalam hati yang bertanya.
            Langkah kakiku pun ingin menghampirinya. Tetapi ada rasa takut dibenakku, karena banyak orang yang ikut berjudi di tempat itu.Jubahnya hanyalah polesan belaka untuk menutupi aibnya yang sudah terbongkar itu.
“Kyai… benar ini Kyai?” tanyaku sopan.
            Sang Kyai pun melihat ke wajahku dengan tatapan tajam seperti pertama kali aku memandanginya sewaktu di Aluh-aluh.
“Bukan.” katanya dengan nada keras.
“Tapi saya kenal dengan Anda. Andakan kyai yang memberikan wejangan sewaktu di  Aluh-aluh. Sudahlah jangan berbohong, seorang kyai memang hanya dapat berceramah,  tetapi praktiknya palsu belaka. Buat apa bersembunyi di balik jubah,  jika perbuatan Anda  tidak mencerminkan sucinya makna pakaian yang dipaka .”kataku berbicara kasar di antara orang-orang berjudi itu.
“Tutup mulutmu anak muda. Berani kau denganku? Lihat ini tatoku,  aku preman yang sangat disegani  di kawasan ini. Kamu lihat mereka. Mereka adalah anak buahku.”
            Aku terkejut dengan ucapan kyai itu. Aku merasa takut kalau-kalau  dia berniat menyakiti atau malah membunuhku.”Aku belum siap meninggal,aku ingin menyelesaikan kuliahku yang memerlukan pengorbanan besar di dalamnya. Oh Tuhan, tolong aku.” gumamku dalam hati. Segerombolan preman itu ingin membunuhku. Begitu pula dengan kyai yang kukagumi sebelumnya. Dia memperlihatkan belati tajam yang tersimpan di balik tubuhnya. Tubuhku gemetar, jantungku berdetak sangat cepat. Berberapa tetes keringat membanjiri wajah dan badanku. Ya Allah, Lindungi hamba-Mu ini. Aku terus meratap dalam doa.
“Tangkap bocah ingusan itu, jangan sampai dia membongkar kedok kita!” suara berat dan lantang itu terdengar bagai petir di siang bolong. Sungguh menakutkan. Beberapa lelaki berbadan kekar berjalan ke arahku. Wajahnya terlihat menyerigai. Aku semakin gemetaran. Aduh, kenapa kakiku terasa kaku. Aku tidak bisa menggerakkan kedua kakiku. Aku tinggal menunggu nasib. Ya Allah…haruskah aku kembali ke pangkuan-Mu lewat tangan-tangan orang-orang jahat ini.
“Toloooooooooongggg!” aku berteriak sejadi-jadinya. Tiba-tiba aku merasa tubuhku jatuh ke lantai yang dingin. Mataku membuka. Astaga, mengapa aku meringkuk di lantai kamarku. Logikaku mulai menelaaah semua yang terjadi.
”Hah,untunglah aku masih hidup.Ternyata ini hanyalah mimpi belaka.Tetapi semua terasa nyata, apakah benar di balik jubah Sang Imam itu tersimpan perbuatan maksiat. Aku hanya dapat menghela nafas dari mimpi-mimpi.
            Secarik kertas bertuliskan alamat sang imam. Ada tekad di batinku untuk menemui Sang Imam.
                                                            **********
“Assalamualaikum.”kataku sambil mengetuk pintu.
“Walaikumsalam warahmatulahhiwabarakatuh.”jawab yang di balik pintu.
“Ada perlu apa? Silahkan masuk dulu.”
“Maksud kedatangan saya ke mari untuk menanyakan sesuatu. Apakah kiranya Kyai memperkenankan saya menanyakan hal ini.”
“Silakan saja, tidak apa-apa.”
“Apakah Kyai suka berjudi dan melakukan hal-hal yang di luar ajaran agama.Saya tahu Kyai sangatlah ahli agama dan jauh dari maksiat. Maaf,  Kyai kalau pertanyaan saya menyinggung karena saya bermimpi kurang baik tentang Kyai.”
“Mimpi itu hanyalah bunga tidur, saya tidak pernah berjudi. Semua saya dapatkan dari Allah SWT yang melimpahkan rezeki-Nya kepada saya. Alhamdulillah, berkat sedekah yang  saya diberikan, Allah telah melimpahkan  harta yang melimpah sehingga saya dapat beramal saleh kepada semua orang.”
“Terima kasih, Kyai. Itu saja yang ingin saya beritahukan kepada Kyai. Kalau begitu saya pulang dulu. Sekali lagi saya mohon ampun dan maaf karena telah berburuk sangka kepada Kyai. Assalamualaikum warahmatulahhiwabarakatuh..”

            Ah, sebuah kesadaran menyeruak dalam batinku bahwa sebuah kecurigaan tidaklah pasti merupakan kebenaran. Apalagi, dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa berburuk sangka adalah sesuatu yang membawa petaka dan dosa. Maafkan aku, Kyai. Serentetan maaf masih berkecamuk dalam batinku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar