Jumat, 26 Oktober 2012

Cinta dalam Hitungan


“Uh, bosannya suasana hatiku.” keluhku pada Intan.
“Lebih baik berenang saja nanti ngilang tuh bosannya.”
“Benar juga sih, tapi aku males. Males bangets tingkat tinggih nih.”
“Yah sudah ngemil permen saja.”
“Hmm, males juga. Ah, lebih baik tidur siang aja deh, biar adem nih hati.”
“Iya deh, jangan lupa mimpiin aku yah.”
“Ayo, sama-sama kita tidur biar nanti kita ketemu dalam mimpi.”
“Uh, kamu ini. Sudah tidur sana nggak mau ngikut ntar dalam mimpi aku ketularan males.”
“Tadi bilangnya mau minta mimpiin. Oke deh, aku tidur dulu yah.”
            Suasana hatiku memang agak keruh, mungkin hanya tidur yang bisa menghilangkan kekeruhan hati ini. Ku coba memenjamkan mataku menjelang duha yang memanggilku tetapi geritik hati menolak panggilan itu. Tetapi aku tak dapat memejamkan bola mata yang seperti bunga tulip di siang hari. Mengapa aku tak dapat memejamkan mata ini? “Huft, virus-virus males kian merajalela di hati. Hus, pergilah engkau virus males.” gumamku sendirian. Sepertinya aku tak dapat tidur, selain karena cuaca yang cerah juga karena kondisi mata yang tak ingin tertutup. Ku coba tuliskan uneg-uneg lewat dunia maya yang tak asing lagi bagi semua orang. Mungkin hanya dunia maya tempatku menumpahkan keluh kesah. Ku tuliskan status sederhana agar yang membaca mengomentari status itu. “Masya Allah, nih mata kenapa nggak bisa tidur sih?” Tulisan status yang ku ketik. Ku tunggu beberapa detik hingga menit pun berlalu ternyata ada juga yang mengomentari status yang mungkin tidak penting. Di balik layar facebook aku membaca komentar seorang pemuda yang mengatakan jangan lupa baca doa ya ukhti. Komentar sederhana yang menusuk hati. Aku pun mengomentari status itu syukron yah akhi. Dari balik sinilah aku mulai mengenal akhi Aby Zauhari yang juga tinggal satu daerah denganku lewat pesan facebook. Mulai dari cerita satu sama lain sampai tukar nomor kami lakukan berdua. Tak ada yang mengetahui apa yang ku perbuat ini. Termasuk dengan sahabatku Intan.
Aku hanya dapat tutup mulut akan cinta dunia maya ini.
 “Akhi, sudah makan apa belum?” kataku  memberi perhatian.
“Sudah ya ukhtiku tersayang. Lha ukhti sendiri sudah makan apa belum?”
“Sudah dong, akhi.”
“Baguslah kalau begitu. Ukhti, aku ingin makan masakan ukhti. Kapan nih ukhti mau ke rumahku?”
“Hmm, akhi. Ntar deh aku masakin kalau sudah jadi istri akhi. Yah akhi aja yang ke rumah ukhti masa ukhti ke rumah akhi sih?”
“Wah, pasti enak tuh masakan ukhti jadi kepengen cepat-cepat ngelamar ukhti nih. Tunggu aku sebulan lagi yah?”
“Akhi ini bisa aja. Emang mengapa ukhti harus nunggu sebulan lagi akhi?”
“Akhi mau ngebelin mas kawin buat ukhti tapi nih mau nabung dulu.”
“Wah akhi sudah sampai segitunya. Serius nih mau beliin mas kawin?”
“Yaiyalah masa yaiya dong. Boleh aku nelpon ukhti.”
“Boleh, akhi.”
            Dering handphone bersuarakan nyanyian Hadad Alwi terdengar. Aku segera mengangkat handphoneku. Tak sabar rasanya ingin berbicara kepada akhi yang selalu setia menemani langkahku.
“Assalamualaikum, ukhti.”
“Waalaikumsalam, akhi.”
“Ini, ukhti Aminah ya?”
“Iya, akhi.”
“Ukhti, gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah selalu dalam lindungan Allah. Kalau akhi gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah berkat doa ukhti ana dalam keadaan sehat.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Hmm, ukhti mau tidak nikah denganku?”
“Emm, mau tapi ada syaratnya?”
“Apa itu, ukhti? Syarat apa saja bakalan akhi lakukan buat ukhti tersayang.”
“Hmm, akhi bisa ngegombal juga yah. Akhi mau nggak ngapalin 30 juz Alquran buat ukhti.”
“Masya Allah, ukhti. Ana nggak bisa ngapalin segitu kalau 5 juz ana bisa kok.”
“Nggak mau ah. Ukhti maunya 30 juz.”  
“Ukhtiku sayang ana hanya bisa 5 juz tapi kalau sampai segitu maaf ana lebih baik cari pendamping yang lain saja. Maaf yah, ukhti.”
“Oh, begitu yah akhi. Ya sudah, syukron akhi sudah mampir di hati anti.”
“Jadi ana ditolak nih. Mengapa sih syaratnya susah bangets ukhti?”
“Iya ditolak akhi. Itu bukan susah akhi. Anti memberi syarat itu agar akhi semakin mencintai firman Allah tapi akhi malah mencintai aku. Jadi lebih baik akhi cari yang lebih baik lagi dari anti. Syukron akhi atas semua perhatiannya selama ini.”
“Maafkan ana yang tidak bisa memenuhi syarat anti tapi jauh di lubuk hati ana, ana tulus mencintai ukhti karena Allah. Mungkin ukhti tidak tahu di sini ana sangat merindukan ukhti. Tapi kalau ukhti maunya seperti ini ana bisa terima. Mungkin juga karena kita memang bukan berjodoh, ukhti. Ya sudah, ana bisa menerima ini. Syukron juga atas perhatian ukhti. Assalamualaikum.”
            Setelah percakapan yang aku akhiri dengan salam itu sejenak aku merenungi apa yang sedang aku perbuat. Apakah aku salah memberi syarat seperti itu? Itukan satu pembuktiaan cinta. Ya sudahlah, aku hanya mengakhiri jalinan cinta yang baru berumur sebulan itu. Sungguh perkenalan dan percintaan yang terbilang singkat. Semenjak itulah aku mulai meninggalkan dunia maya dan menghapus pertemanan dengan Aby Zauhari. Hal ini aku lakukan hanya tak ingin mengulang masa lalu yang kelam bersamanya. Biarlah cerita ini hanya aku dan dia yang mengetahui itu. Di balik sini ada hikmah yang aku ambil yaitu aku tak ingin lagi mengulang kesalahan yang sama, mencintai orang yang tak jelas dari mana keberadaannya. Aku yakin Allah sudah mengatur jodoh terbaik dalam hidupku. Bukan jodoh yang sesuai dengan keinginanku tetapi memang jodoh yang sesuai dengan apa yang aku butuhkan. Biarkan waktu yang menjawab akan hadirnya jodohku, mungkin dari sini juga aku lebih introspeksi doa bahwa di dalam doa tak perlu terburu-buru meminta kepada Allah untuk menghadirkan jodoh.

Rabu, 24 Oktober 2012

Kenangan Di Balik Jilbab Putih


Aina Putri,sesosok wanita muslimah yang sangat hobi mengoleksi jilbab dengan model dan tren terbaru.Aneka jilbab yang dia sukai diantaranya jilbab Syahrini,jilbab motif bunga,jilbab segiempat,jilbab paris border,jilbab mukena,dan jilbab payet gradasi dua warna.Semua itu dibelinya melalui media online.Selain itu pula,dia juga membeli koleksi jilbabnya itu di pasar Banjarbaru yang menawarkan harga terjangkau dengan kualitas jilbab yang bermutu.Akan tetapi,diantara semua koleksi jilbabnya itu hanya koleksi jilbab putih nan bersih yang sangat dia sukai.Jilbab putih polos tanpa ada corak warna lain dan paduan gambar,sungguh melambangkan kesucian dari sang pemiliknya.Baginya terasa tenang dan damai saat dia mengenakan jilbab putih.
Masa lalu terkadang mudah diingat dan dilupakan oleh seseorang.Itu karena dibalik masa lalu tersimpan memori kenangan terindah dan terburuk dalam hidup.Jikalau masa lalu dapat diputar ulang semua orang akan bertindak lebih dewasa dalam menghadapi setiap episode kehidupan dan takkan pernah melakukan hal yang menyebabkan penyesalan.Akan tetapi,masa lalu hanyalah tinggal kenangan.Namun,tidak untuk Aina,baginya bayangan masa lalu takkan pernah dikuburnya meski zaman telah berganti.Teringat olehnya bayangan masa lalu ketika bersekolah di SMA 2 Banjarbaru saat dia bersama sahabatnya,Iwan.
“Betapa cantik parasmu,Aina,mengenakan jilbab putih itu.Tidak ada sehelai rambut yang terlihat dibalik jilbabmu.Sungguh tampak sholehanya dirimu,Aina.”kata Iwan menatap teduh.
“Benarkah?Biasa saja,semua wanita juga akan cantik dan sholeha mengenakan jilbab sepertiku.”
“Memang benar,tapi bagiku engkau berbeda.”
“Maksudmu mengajakku makan,ada apa?Bukan ada udang dibalik batukan?Biasanya kalau mengajak makan begini pasti minta bantu kerjakan tugas.Iyakan?” tanya Aina mengalihkan pembicaraan.
“Bukan,aku ingin membicarakan sesuatu kepadamu.”
“Tentang apa?”kata Aina bingung.
“Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu,menemani disetiap langkahmu.Aku…aku sangat mencintaimu.Aku tidak ingin seperti siput yang bergerak lambat mengejar cintamu.Apakah kamu mau menjadi cintaku?” tanya Iwan dengan serius.
“Katamu kita selamanya akan menjadi sahabat.Tetapi,mengapa sekarang kau bilang itu kepadaku?”
“Aku tidak ingin memendam rasa ini.Izinkan aku mencintaimu meskipun hanya satu hari.”
“Kita sudah lama bersahabat dan sampai kapan pun tetap sahabat.Jangan kau rusak persahabatan kita hanya karena cinta.Ku bukanlah zigaz band yang bisa menjadikan sahabat menjadi cinta.’
“Mengapa sikapmu selalu seperti ini.Tidak peduli terhadap semua cowok yang memperhatikanmu,termasuk aku.Apa tidak ada tempat dihatimu untuk berbagi sedih dan tawamu dengan namanya lelaki?”tanya Iwan.
            Aina hanya terdiam,bibir mungilnya tertutup rapat.Namun,suara batinnya penuh keraguan akan apa yang harus dia katakana kepada sahabat terbaiknya itu.Iwan memang sahabat yang sangat baik dan suka menolong.Meskipun dia tergolong keturunan berdarah biru,dia tidaklah sombong terhadap Aina yang hidup dalam kalangan sederhana.Iwan memang sosok lelaki apa adanya dan jauh dari sikap pamer.Tak heran,Aina senang bersahabat dengannya.
“Jawab,Aina.”
“Itu hanya aku yang tahu.Sudahlah,aku mau pulang.Antarkan aku pulang sekarang.”
“Pulang saja sendiri.”kata Iwan tidak peduli.”
“Dasar kamu ini,kalau tahu jadinya seperti ini lebih baik aku menolak ajakanmu.Ya sudah,aku pulang sendiri.’kata Aina penuh kekesalan.
            Aina Putri bukanlah orang yang berkarakter pendendam,tiada amarah dalam jiwa yang selalu memaafkan kesalahan orang lain.Tetapi,tidak untuk hal yang satu ini.Dia tidak dapat memaafkan perbuatan sahabatnya itu.Membiarkan dirinya pulang sendiri dengan berjalan kaki.Dia harus menempuh perjalanan jauh dari jalan kemuning menuju gang bina guna.Sungguh hal yang sangat melelahkan baginya yang tidak terbiasa berjalan kaki.
            Awan masih tersenyum dibalik langit yang memancarkan cahaya terik.Dia melewati pinggir jalan kota Banjarbaru yang dipadati oleh mobil sedan,kendaraan bermotor yang berlalu lalang.Tiada sebungkus sampah yang terlihat,hanya pohon-pohon hijau nan rindang menghiasi bola mata yang bergembira riang menatap sudut jalan.Dia menghela nafas bersama angin yang memeluk tubuhnya.Dia bergumam dalam hati,”Mengapa pada saat genting seperti ini dia lupa membawa dompet dan handphonenya?Bahkan Iwan tidak mengejarnya pula.”Dia merasakan fisik dan batinnya lelah,hingga tetes air matanya mengalir membasahi relung hati yang memendam kekesalan.Ingin dia naik ojek,tetapi tidak ditemukannya di ruas-ruas jalan besar itu pangkalan ojek.Sisi batinnya bimbang,mengkhawatirkan orangtuanya mencemaskan dirinya.Tetapi sang sahabat pun menghentikan mesin kendaraannya tepat di posisinya.
“Ayo,cepat naik.”
            Aina menghentikan langkahnya yang letih dan menghapus butiran air matanya.Ingin dia menjitak kepala sahabatnya itu untuk membayar rasa kesal dan amarahnya.Tetapi,dia tidak tega.
“Baru berjalan sedekat itu itu sudah menangis,apalagi jalan jauh.Kamu itu perlu aku disampingmu agar kamu tegar.Mulai sekarang jangan sebut aku sahabatmu tetapi sebut aku kekasihmu.”
            Aina hanya diam membisu,tanpa memperdulikan sebaris kata yang penuh makna.Naluri batinnya mengakui dia mencintai Iwan.Apa yang kurang dari sosok Iwan?Tubuhnya kekar dan berotot.Rambutnya tertata rapi dengan gaya potongan TNI.Hidungnya mancung dengan bola mata yang tajam.Garis wajahnya sama dengan orang Arab.Gaya pakaiannya cerminkan kedewasaan diri.Iwan sosok lelaki sempurna yang juga peduli kesehatan.Baginya kesehatan merupakan aset yang berharga.Sehingga cenderung dia menghabiskan sebagian uangnya hanya untuk membeli kesehatan.Dia mengatur pola makan yang cukup dengan takaran gizi yang seimbang sehingga staminanya kuat.Di samping itu pula,dia meminum suplemen kesehatan penambah kebugaran tubuh.Itulah yang dia sukai dari sosok Iwan yang gemar berolahraga.Namun,bukan hal itu yang sangat ia sukai darinya,tetapi akhlakul karimah yang tergambar indah di hati Iwan telah membuka pintu cintanya.Tetapi,baginya tidak pantas dirinya menjalin cinta dengan Iwan karena perbedaan status sosial yang berbeda.Iwan bagaikan berlian sedangkan dirinya hanyalah debu yang dapat ditiup oleh hembusan angin.
            Jilbab putih telah tercermin bagikan kebahagian yang takkan terlepas di relung hati Aina.Dia tidak kuasa melupakan masa lalu.Hanya kenangan dibalik jilbab putih yang selalu dia ingat.Kenangan yang terukir indah bersama Iwan sang pangeran cinta.Kehadiran Iwan dibalik asa memeluk cintanya laksana untaian mutiara yang sangat berharga.Manis pahitnya memadu cinta bersama seperti seindah bentangan pelangi diantara awan putih.Banyak kerikil mewarnai alunan cinta mereka.Dari larangan orang tua Iwan sampai hinaan yang dilontarkan oleh keluarga Iwan membuat batinnya lemah hingga memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang baru terjalin itu.Tetapi Iwan menolak,cinta mereka tetap kokoh seperti terumbu karang.Iwan yakin bahwa Aina belahan jiwanya yang ia cari.Dia pun mengorbankan hartanya demi Aina untuk dapat melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Lambung Mangkurat.Orang tuanya pasti bahagia mendapatkan menantu dokter.Namun,benang-benang cinta yang telah terikat kuat telah putus bersama seberkas kenangan yang pernah terjalin.Kenangan merajut cinta selama enam tahun itu telah hancur,remuk seperti hempasan meteor hanya karena pengkhianatan.Tetesan air mata mengalir hingga menjadi tangisan yang tiada henti.Sedih bercampurkan amarah tercampur rata di ruang hatinya.Kini impian membina kasih dimahligai pernikahan hanyalah tinggal sebutir pasir yang tiada arti.
            Bintang menampakan dirinya diantara langit hitam yang bertahtakan malam.Rembulan terlihat merindukan bintang yang bermandikan kegembiraan.Malam itu hening,bola mata Aina menatap kea rah sajadah panjang.Dia hanyalah hamba yang lemah dan tak berdaya menghadapi beban hidupnya.Hanya kepada-Nya,dia tumpahkan curahan hati yang menusuk sukmanya.Dia menengadahkan tangannya memohon kepada Sang Pemilik Skenario Kehidupan sebait doa untuknya yang di sana akan dikabulkan-Nya.Dalam butiran tasbih dia lantunkan zikrullah.Bayangan masa lalunya diingatnya kembali.
“Soraya sudah menjadi istri sholeha.Aku menasehati Anton untuk bertobat dan menikahi Soraya.Syukurlah dia mau mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.Dan Alhamdulillah,Allah menggugurkan janin yang berasal dari benih yang tidak halal sebelum ikrar ikatan suci itu terucap.Semoga mereka menjadi keluarga sakinah,mawadah,dan warahmah.Sekarang kamu percayakan kepadaku?Kalau Soraya hamil bukan karenaku.”tanya Iwan memandang ke arah wajah Aina.
            Sejenak Aina meneteskan air matanya,selama ini hanyalah penilaian negative yang ada dibenaknya.Sehingga membutakan mata hatinya untuk mempercayai sosok Iwan.
“Maafkan aku telah salah menilaimu.”
“Sudah ku  maafkan sebelum kamu meminta maaf.Jika seandainya aku benar-benar pergi dari kehidupanmu.Apakah kamu akan menggantikanku dengan yang lain?”
“Jangan berkata seperti itu,aku pasti tidak akan pernah bias menggantikanmu dengan siapapun.”
“Benarkah?”
            Aina hanya tersenyum seindah pelangi dibalik jilbab putihnya.
“Terima kasih sudah membuatku sukses seperti sekarang ini.Aku dapat menjadi dokter ini karena bantuanmu.”
“Iya,coba kamu lihat kedua orang tuaku,mereka ingin menjadikanmu menantu.Sebelumnya aku minta maaf atas hinaan dan celaan dari orang tuaku sewaktu dulu.”
            Aina menatap ke arah rumahnya,dia pun berkata,”Iya,sudah kumaafkan.”
“Aku ingin mengikat janji suci,bersanding denganmu dalam janur kuning.Jawab pertanyaanku,Aina.Apakah kamu mau menjadi istriku,menemani dalam setiap langkahku.Ada banyak badai yang akan menghantam bahtera keluarga kita.Apakah kamu menjadi istriku yang menegarkan jiwaku yang lemah ini?”tanya Iwan dengan tatapan serius.
“Iya,tentu aku ingin menjadi istrimu.Aku akan setia dan menegarkanmu,duhai calon imamku.”jawab Aina dengan tegas.
“Terima kasih,sungguh engkau calon isti sholeha.”kata Iwan mengelus kepala Aina.
            Rombongan Maulid Habsyi dan mobil-mobil sedan yang terparkir rapi melaju meninggalkan secercah canda tawa karena lamaran telah diterima.Bola mata Aina menatap mobil yang bergerak jauh.Dia hanya dapat berharap bersanding dengan sang calon imam.Akan tetapi,Sang Ilahi menggariskan takdir lain.Mobil kijang Iwan yang ditumpangi keluarganya mengalami tabrakan maut tepatnya di jalan Akhmad Yani.Sang tambatan hati dilarikan ke rumah sakit Ratu Zalecha.Tubuh Iwan berlumurkan darah.Hanya Ayah dan Ibunya yang dapat diselamatkan oleh dokter.Iwan tak bernafas,hanya kata Laaillahilallah yang terucap di detik-detik hembus nafasnya.Dia telah meninggalkan dunia menuju alam barzah.Hanya tangis yang tak berujung mewarnai pemakaman Iwan.Di kuburan muslim itu,sang calon imam berkalang tanah.
            Aina hanya dapat tawakal kepada-Nya akan garis takdir yang Allah kehendaki.Karena jodoh,maut,dan rezeki hanya Allah yang Maha Mengetahui.Inilah tabir kehidupannya,dia hanya dapat menerima kuasa-Nya.Dia yakin bahwa semua itu merupakan yang terbaik yang diberikan Allah untuknya.
            Tidak ada yang harus dimiliki oleh jiwa yang merasa memiliki.Semua akan kembali kepada-Nya dan tidak ada yang kekal.Dia pun hanya dapat menangis dalam sujud tahajud-Nya yang menyimpan kenangan dibalik jilbab putih.
           


Hanya untuk Bunda





       Tak ada yang mengetahui perasaan orang lain.Begitu pula dengan diri Intan,dia hanya dapat terpaku menatap Bundanya terbaring lemah di kasur.Sedih bercampur gundah perasaan batinnya,mengiris sekejur tubuhnya lunglai meratapi Bunda tersayangnya.Apa yang sebenarnya yang Bunda pikirkan?Itulah pertanyaan yang terpendam di dalam sanubarinya.Bundanya hanya dapat terdiam membisu.Matanya seolah ibarat padi yang hampa isinya,entah apa yang dilihat Bundanya,dia hanya dapat menangis dalam hati.Diapun mencoba memahami perasaan Bundanya mencari cela dibalik hati Bunda yang kehilangan sang pendamping hidup.Memang Bundanya memiliki mental yang mudah rapuh.Semenjak Ayah pergi meninggalkan dia dan Bundanya,Bunda yang dikenalnya dahulu periang sekarang menjadi sesosok pendiam.Sebulan lima belas hari sudah,Bundanya tak kunjung meredakan kesedihan hatinya.Ayah memang sangatlah berharga di matanya dan Bundanya.Sesosok figur Ayahnya yang pekerja keras,berwibawa,dan selalu menjadi panutan yang bijaksana membuat dirinya sangat menyayangi Ayahnya.Tak dapat dilukiskan oleh goresan pena seberapa besar kasih sayang yang dipendamnya.Ayah,tahukah engkau anakmu ini sangat menyayangimu.Andaikan engkau menemani anakmu ini bermain catur setiap libur sekolah.Mendengarkan keluh kesahku akan tugas sekolah yang memberatkan hatiku.Ayah,hanya kau yang mampu membuatku bersemangat.Tetapi,sekarang kau telah tiada meninggalkan kami untuk selamanya.Itulah yang diucapkannya dalam hati yang berharap.Kehilangan Ayah hanya membuatnya terpuruk dalam lembah kesedihan.Dia harus bangkit,tegar,dan teguh seperti batu karang dalam menjalani kehidupan yang penuh liku-liku ini.Perlahan dia mencoba tegar demi Bunda tercintanya.Dia harus bangkit demi Bunda tersayangnya.Kalau dia seperti begini terus,dia akan tetap menjadi sesosok perempuan yang mudah menyerah.Yang dapat dilakukannya sekarang adalah mencari pekerjaan demi kebutuhan hidupnya.Dia mencari pekerjaan sambilan hanya untuk Bundanya.Melihat Bundanya tersenyum seindah pelangi di senja tenggelam sudah terasa cukup bagi hidupnya.Dia tidak menikmati masa transisi dari perubahan remaja menjadi dewasa,seperti yang dilakukan teman-temannya.Hanya untuk bunda dia lakukan hal ini.
Akhirnya setelah lelah mencari pekerjaan,dia diterima juga bekerja di sebuah warung makan Pak Zainal yang menjual makanan berkuah dan aneka makanan nasi.Meskipun upah yang diberikan dapat dibilang kecil.Akan tetapi,dia dapat menerimanya dengan tangan terbuka.Sepulang sekolah,dia bekerja di warung makan Pak Zainal dari pukul 15.00 sampai dengan 21.00.Jarak antara rumahnya dengan Pak Zainal hanya dapat diukur setinggi tiang bendera.Dia bekerja dengan penuh kerja keras.Namun,disela-sela kesibukannya dia dapat menyempatkan diri untuk belajar meskipun hanya sebentar.Pekerjaan ini dia lakukan sudah memasuki bulan kelima.Setelah selesai dari pekerjaannya seperti biasanya,diapun pulang ke rumahnya dengan membawa sebungkus makanan sisa yang dibungkusnya sebelum pulang.Berat hatinya memberikan nasi sisa kepada Bundanya.Namun hal ini dia lakukan demi kebaikan Bundanya.Pak Zainal memang dikenal dengan sebutan orang yang terkikir oleh masyarakat di sekitar situ.Jadi sudah sangat memaklumi dia dengan sikap Pak Zainal itu.Ketika berada di rumah,dia pun menyiapkan makanan untuk Bundanya.
“Bunda,makan yah…”katanya.
Bundanya hanya diam.Dia menyuapkan makanan ke mulut Bunda yang mungil itu.Bunda hanya menutup mulutnya dengan rapat.
“Bunda,kalau Bunda tidak makan nanti Bunda sakit.Ayo,makan Bunda.”
Perlahan Bunda membuka mulutnya.Bundanya memakan makanan itu hanya dengan tiga sendok suapan.Setelah selesai makan,dia pun menyuruh Bunda untuk tidur di malam yang sunyi itu.Dia mencium kening Bundanya yang hangat itu.Sejenak ada kesejukan dan ketentraman hati saat dia mencium kening Bunda.
            Keesokan harinya seperti biasanya,dia mencium kening Bunda sebelum dia pergi ke sekolah.Bundanya terlihat nyenyak di alam tidurnya.Dengan naik angkot, diapun pergi ke sekolah.Setibanya di sekolah,dia melangkah membawa lembar hati yang baru.Tidak ada yang mengetahui ia kehilangan Ayahnya.Hanya wali kelasnya,Pak Somad yang mengetahui  hal ini.Namun,keluarga Bundanya tidak mengizinkan untuk memberitahukan kematian ini kepada sekolah.Ayahnya pergi begitu cepat.Ayahnya dikuburkan pada hari Jumat oleh keluarga jauh Bundanya.Ayah tidak memiliki keluarga lengkap.Semenjak kecil Ayahnya hidup bersama Nenek.Ayah dan Ibu dari Ayahnya telah meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas.Perjalanan ayahnya memang penuh pengalaman yang sangat berharga yang akan dijadikannya sebagai langkah semangat baru demi sebuah keberhasilan pendidikan.Teringat dalam benaknya ketika Ayahnya dahulu menceritakan perjalanannya kepada dia.Ayah hidup tanpa bergantung dengan orang lain.Mengembara ke tempat yang jauh hanya untuk pendidikan yang mampu membuat masa depannya berkilau seindah embun di pagi hari.Namun terhapus sudah memori kenangan indah bersama Ayahnya,saat dia menyadari Ayahnya tak ada di sampingnya.Perlahan Intanpun duduk di bangku paling belakang bersama Emelia sahabat sejatinya.Hanya dengan Emelia, dia dapat menumpahkan segenap keluh kesah yang ada di dalam hatinya.Namun,tidak untuk masalah ini.Dia hanya ingin menyimpanya sendiri di dalam catatan hatinya.Dia tak ingin memberitahukan hal yang sangat menyedihkan ini kepadanya.Dia duduk sambil membaca buku di ruangan yang sunyi itu.Terlihat Emelia datang dan menggerakkan langkahnya ke arah Intan.
“Intan ,kenapa kamusekarang jadi pendiam.Apa kau ada masalah?”kata Emelia.
Wajar saja Emelia menanyakan hal ini karena dia melihat ada sesuatu yang dirahasiakan oleh sahabatnya itu.Intan sering menolak ajakannya untuk belajar kelompok atau pun kegiatan setiap liburan yang biasa dihabiskan dengan membuat mading.
“Tidak ada masalah.”kata Intan sinis.
“Aku tidak percaya denganmu.Kau pasti ada masalah,iyakan?”kata Emelia penasaran.
“Tidak ada”kata Intan mengulang.
“Ayolah cerita denganku.Aku ini kan sahabatmu,aku pasti akan menjaga rahasiamu.Apabila kau tidak mau,jangan sebut aku lagi sahabatmu.”kata Emelia agak memaksa.
“Mel,jangan seperti begitu.Aku tahu kau itu sahabatku.Tetapi terus terang,ini masalah pribadiku,aku bisa mengatasi masalahku sendiri.Lebih baik kita ke perpustakaan istirahat nanti,yah?”kata Intan mengalihkan pembicaraan.
“Maaf aku terlalu memaksamu untuk bercerita sesuatu hal yang menyakut masalah pribadi.Maaf yah?’’kata Emelia.
“Iya tidak apa-apa.”kata Intan.
            Ketika istirahat dia pergi ke perpustakaan bersama dengan sahabatnya.Di perpustakaan dia belajar membaca segudang ilmu yang akan membawanya ke sebuah kesuksesan.Ilmu memang ibarat permata yang berkilau,tidak dapat ditukar dengan sebongkah berlian yang sangat berharga.Diamembaca buku,perasaan batinnya seperti diintrogasi oleh sesosok petugas keamanan.Dia mencoba menoleh ke belakang.Hanya dilihatnya Yulia, teman sekelasnya sedang asyik membaca buku.Mungkin hanya perasaannya saja.Mereka pun meminjam buku dalam jangka yang telah ditetapkan.Mereka kembali ke kelas sambil membawa masing-masing buku yang dipinjam itu.Di dalam kelas terasa sekali keributan yang ditimbulkan oleh anak-anak kelas XI IPS-3.Kelasnya itu mendapat julukan sebagai kelas yang paling ribut di antara kelas lainnya.Meskipun demikian,julukan tersebut menjadikan sebuah motivasi yang mendorong siswa-siswinya berusaha untuk mendapatkan prestasi gemilang.Buktinya Hana teman sekelasnya dapat meraih juara ketiga dalam lomba PMR.Ini merupakan penghargaan tertinggi khususnya bagi kelas XI IPS-3.
Seusai pelajaran berakhir,Emelia mengajak Intan untuk makan bersama di tempat biasanya di warung Pak Amat.Dalam benak Emelia,Intan pasti menolak ajakannya itu.
“Intan,bagaimana kalau hari ini kita makan di warung Pak Amat?”tanya Emelia.
“Maaf,tidak bisa karena hari ini aku harus membaca buku ini.”kata Intan.
“Aku antar kamu pulang yah?” tanya Emelia mengajak.
“Tidak usah,Ayahku pasti sudah menjemput.Maaf yah.”kata Intan berbohong.
“Iya,tapi esok bisa kan?”
“Aku usahakan.Sudah yah,aku pulang duluan.”kata Intan sambil melangkahkan kakinya meninggalkan Emelia.
Intan hanya dapat merenungi perkataannya yang diucapkan kepada Emelia di dalam angkot yang banyak penumpang itu.Sampai kapan ia harus berbohong mencari alasan yang dapat diakui kebenarannya.Kesaksian palsu yang telah  terucap akan ia akhiri besok,batinnya terasa lelah harus berbohong secara berkelanjutan kepada sahabatnya itu.Dia harus konsentrasi terhadap belajar dan bekerjanya.Setibanya di rumah,dia membawa sebungkus makanan dan obat untuk Bundanya yang dibelinya di seberang rumahnya.
“Bunda,Intan datang..”katanya.
            Langkah Intan menuju ruangan Bunda,dilihatnya tidak ada Bunda.Dia berkata dalam hati,”Di mana Bunda?”Dia mencari Bunda keluar rumah.Dilihatnya Bunda sedang bermain bersama anak-anak.Namun apa yang dilihatnya,anak-anak itu menyebut Bundanya orang gila.Hati anak mana yang tak sedih jikalau orang lain memanggil Bundanya dengan sebutan orang yang tak waras.Dia mengusir anak-anak yang berada didekat Bunda.
“Bunda,Bunda kenapa?”
“Ayahmu,nak ada di sungai itu.”kata Bunda.
“Bunda,Ayah telah tiada.Sudahlah Bunda jangan bersikap begitu.”
“Ta..tapi Ayahmu di sana.Bunda ingin ke sana.Pergi bermain air dengan Ayah.Boleh yah,nak.”kata Bunda meminta.
“Tidak,Bunda.Ayo,kita pulang.”kata Intan mengalirkan air matanya.
Bunda pun menuruti perkataan anaknya itu.Di ruang Bunda Intan menyuruh Bunda untuk makan.Bundamakan dengan ketawa-ketawa sendiri seperti ada hal yang lucu dalam benaknya.Setelah selesai,diapun pergi bekerja dan mencium tangan Bundanya yang hangat itu.
Di tempat pekerjaan,dia merasa tidak bersemangat.Dia mengkhawatirkan kondisi Bundanya itu.Namun,dia yakin Bundanya pasti baik-baik saja.Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya malampun tiba.Malam itu udara terasa dingin terlihat bintang bermain dengan riang gembira bersama rembulan.Dia pulang sambil membawa sebungkus makanan yang dibawanya hanya untuk Bundanya.Setibanya di rumah,ia langsung masuk ke ruangan Bundanya.Dia melihat Bundanya tidur pulas di atas kasur yang empuk itu.
“Bunda,ini aku belikan gelang untuk bunda.”
Intan hanya meletakkan gelang yang dibelinya dengan kerja keras seminggu lalu itu di sebelah kasur Bunda.Diapun kembali ke kamarnya.Seharian ini,ia tidak membaca buku karena warung makan Pak Zainal dibanjiri oleh para pengunjung.Malam itu hening menyejukkan hati.Dia membaca buku yang diambilnya di ranselnya berwarnakan merah muda miliknyayang anggun itu.Namun,apa yang dilihatnya ada sebuah surat yang warnanya merah jambu.Perlahan dia membuka surat itu.Di surat itu,tertulis kata-kata yang berisi:Dear Intan…Kau yang mempesona mengagumkan hatiku.Tahukah engkau aku sangat mengagumi karyamu yang sangat berbakat.Kau sangat jago dalam menuliskan puisi.Aku tidak dapat seperti dirimu.Tapi,jikalau kau tahu aku ini adalah penggemarmu.Kulihat puisimu tidak ada lagi di mading.Kenapa?Teruskanlah menuliskan puisi yang syahdu nan membawa sejuta insipirasi bagiku.Apa boleh kau menuliskan puisi untuk penggemarmu ini?Dan menempelkannya di mading.Aku pasti sangat menyukai hal itu.Dari penggemarmu.
Ketika membaca surat itu.Dia penasaran dengan siapa yang menuliskan surat tersebut.Namun,dia tidak dapat menuliskan puisi untuk penggemarnya itu.Hal itu dikarenakan hatinya belum menyatu dengan puisinya.Dia memang jago dalam membuat puisi yang romantis,tak heran teman-teman sekelasnya selalu memintadibuatkan puisi kepada Intan.Apalagi apabila valentine day tiba,pastinya teman-temannya menanti dia di depan kelas mengantre untuk dibuatkan puisi.Intan memang teman yang baik hati dan tidak pernah menolak permintaan teman-temannya itu. Diapun tidur di atas kasurnya yang berwarnakan biru langit sambil membaca surat dari penggemarnya itu dengan berulang kali dan membatalkan niat hati yang ingin belajar itu.Dia tidur bersama bintang yang merindukan rembulan.
Keesokan harinya diapun berseragam sekolah untuk menuntut ilmu yang berguna demi masa depannya.Dia mencium tangan dan kening Bundanya yang masih hangat seperti hari-hari sebelumnya.Bundanya tertidur pulas dalam belaian hangat kasih sayang dirinya itu.Dia naik angkot sambil membawa sepucuk surat buat sahabatnya Emelia.Setibanya di sekolah,ada seorang sahabatnya yang sekarang agak menjauh darinya yaitu Johan yang sepertinya sedang menunggu sang pujaan hati di depan kelasnya.
“Kok,tidak bersama Emelia?”kataJohan.
“Tidak apa-apa.”kata Intan melangkah cepat ke dalam kelas.
“Kamu tahu tidak?”tanyaJohan.
“Tidak,emangnya ada apa?”tanya Intan.
“Aku ini…”kata Johan mengghentikan pembicaraannya setelah Emelia datang.
“Eh,aku hari ulang tahun.Ada yang mau berbagi kado tidak dengan aku?”tanya Emelia sangat berharap.
“Ini untuk kamu.Met ultah yah moga tambah happy selalu..” kata Intan.
“Terimakasih,kau memang sahabatku yang baik hati.”kata Emelia.
“Kamu Johan?”tanya Emelia.
“Yah,bagaimana kalau aku teraktir makan hari ini?”tanya Johan.
“Ok deh.”kata Emelia.
Johan memang teman akrab sekaligus sahabat baik Intan dan Emelia yang sangat hobi jogging.Akan tetapi,belakangan ini Johan lebih sibuk menyiapkan pertandingan basket.Dia sangat antusias dalam mengikuti pertandingan antar sekolah itu yang akan dilaksanakan Minggu depan.Johan beda kelas dengan Intan dan Emelia.Johan kelas XI IPA-1 yang sangat menyukai percobaan di laboratorium.
Waktu berlalu seperti angin yang menghembuskan segenap keluh kesah yang membara.Akhirnya pelajaran pun berakhir dengan begitu lancar.Seusai pelajaran,Johan menunggu Intan dan Emelia di muka gerbang sekolah.Johan yang terkenal memiliki kharisma yang memikat sangat sabar menunggu mereka datang.Setelah menunggu beberapa menit,orang yang dinanti-nantipun datang.
“Ayo,kita berangkat.”kata Johan keluar dari mobilnya.
“Tunggu sebentar aku mengambil mobilku.Intan,kamu dengan Johan saja yah.Karena mobilku diparkir sangat jauh.”kata Emelia sambil melepaskan gandengan tangannya dari Intan.
“Aku sama kamu saja.”kata Intan.
“Ayo,dengan aku saja.”kata Johan sambil memegang tangan Intan.
“Tapi..”
Emeliapun mengambil mobilnya yang diparkir begitu jauh itu.Mereka melaju dengan kecepatan sedang ke sebuah restoran.Dalam mobil Intan hanya dapat terdiam membisu sambil membaca buku yang dia pinjam di perpustakaan.Setibanya di restoran mereka memesan makanan masing-masing.Merekapun memakan makanan yang telah dipesan tersebut.Ada yang ingin Intan beritahukan kepada kedua sahabatnya itu.
“Ada yang ingin aku bicarakan kepada kalian?Aku harap kalian mengerti dengan perasaanku.Sebelumnya aku meminta maaf karena aku menyimpan rahasia ini sudah  terlalu lama.”
Johan dan Emelia hanya mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu.
“Sebenarnya Ayahku…Ayahku sudah meninggal sebulan lalu.Maafkan aku baru memberitahukan sekarang.”kata Intan mengeluarkan air mata.
“Astaga,benarkah itu?Itu waktu yang terlalu lama kau pendam.Kenapa kau tidak memberitahukan kepada kami?”tanya Emelia.
“Aku tidak ingin membuat kalian sedih.Aku ingin merahasiakannya kepada kalian.Tetapi,aku tidak bisa membohongi kalian.Maafkan aku.”kata Intan menunduk.
“Sudahlah,tidakapa-apa,Intan.Bagaimana dengan Bunda kamu?Sekarang siapa yang menjadi tulang punggung keluargamu?”tanya Johan agak sedih.
“Bunda sekarang lagi sakit.Bundaku disebut orang gila dengan anak-anak.Bunda sangat terpukul atas kepergian Ayah.Aku yang menjadi tulang punggung keluargaku.Keluarga Bunda tidak menolong kami karena mereka benci dengan Bunda yang menikah tanpa restu orang tua.”katanya mengeluarkan air mata.
“Sahabat,tegarkan hatimu.Izinkan kami membantumu dengan semampu kami.Lebih baik sekarang bunda kamu dibawa ke rumah sakit.”kata Emelia mengeluarkan air matanya sambil merebahkan kepala sahabatnya itu di pundaknya.
Merekapun pergi ke rumah Intan sambil membawa sebungkus buah-buahan yang segar.Setibanya di ruangan Bundanya,mereka melihat Bunda yang sedang tertidur itu.
“Bunda,ini sahabat Intan.Bunda bangun.”
Bundanya hanya tertidur di atas kasur dan tidak menghiraukan perkataan anak tersayangnya itu.Intanpun memanggil dan menggerakkan tubuh Bundanya.Namun apa yang terjadi sesosok Bunda yang disayang telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
“Bunda,Bunda jangan pergi.”kata Intan menangis.
“Intan Bundamu sudah meninggal.Nadinya tak berdenyut lagi.Bundamu sudah tiada.”kata Emelia sambil memegang nadi Bunda Intan.
“Jangan menangis lagi.Ada kami di sini Intan.Kau tidak sendiri.Sudahlah.”kata Johan sambil memegang pundak Intan.
“Bunda…”kata Intan pingsan.
Lengkap sudah penderitaan yang dirasakan anak yang berharap ada kasih sayang yang tulus yang akan didapatkannya dari seorang keluarga.Intan memiliki mental yang rapuh sehingga ia tak sanggup memikul beban yang terasa berat untuk dipikulnya.Kedua sahabatnya hanya dapat menangis ketika melihat Intan sahabat yang dikenalnya sangan baik hati kini telah menjadi orang yang tak waras.
“Bunda..Bunda ayo makan.”kata Intan.