Wajahnya polos tak berdosa. Bola
matanya bersinar lembut bagaikan butiran salju. Lesung pipinya terlihat indah
ketika dia mengembangkan senyuman manisnya kepada semua orang. Dia adalah Ari Guruh Irawan yang biasa dipanggil Guruh,
bocah cilik yang gemar bermain sepak bola. Kegemarannya itu membuat dia ingin
menjadi atlet olahraga seperti Christian Ronaldo, idola yang sangat dia kagumi.
Dia dibesarkan dalam lingkungan yang sehat membuatnya bertekad mewujudkan impian itu menjadi seorang bintang lapangan yang
terkenal di seluruh dunia. Mengharumkan nama negaranya Indonesia, itulah harapan terbesar dalam dirinya.
Sungguh impian yang sangat mengagumkan.
Keluarga Guruh tergolong kaya dan
memiliki usaha bisnis warnet yang cukup besar
yang dikendalikan oleh sepupu
ayahnya. Di balik kekayaannya itu,
mereka bersikap sederhana. Kesederhanaan yang ditampilkan ini
menimbulkan semua orang sangat menghormati dan menghargai keluarga mereka. Terkadang kekayaan menjadi
jurang pemisah kepada si miskin. Akan tetapi, tidak untuk keluarga Guruh yang
menerapkan sikap selalu peduli untuk membantu terhadap sesama. Ayah Guruh
bekerja sebagai guru olahraga, sedangkan
ibunya berwirausaha menyewakan tempat kos
kepada para mahasiswa dengan biaya perbulan relatif terjangkau bagi kantong anak kampus. Ukuran
ruang tempat kos terbilang sederhana, jauh dari kesan mewah. Namun, di tempat
ini anak kampus berkumpul dan berbagi pengalaman tentang kisah kehidupan
masing-masing. Mereka anak kampus yang memiliki harapan dan pola pemikiran yang
berbeda jauh dibandingkan sewaktu duduk di bangku sekolah menengah atas. Jauh
dari kampung halaman, mereka
berjuang untuk menggapai mimpi yang tinggi. Seindah embun di pagi
buta, itulah sebutir harapan yang
terbersit dalam diri anak kampus. Berhasil itulah kata terindah yang ingin
mereka raih.
Guruh memang memiliki tingkat
kemauan yang tinggi. Dia juga sangat mudah bergaul dengan semua mahasiswa
sesama penghuni kos. Di antara sepuluh
anak kampus itu, hanya Ka Rahmat yang
akrab dengannya. Ka Rahmat, mahasiswa Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
semester lima merupakan salah satu sosok yang sangat mudah membaur dengan
dirinya. Ka Rahmat patut diacungi jempol karena selalu menjadi juara dalam contest body. Menjadi pemenang juara
ketiga dalam Gebyar Body Contest
itulah salah satu yang pernah diraihnya. Dari Ka Rahmat, dia belajar untuk
mengutamakan gaya hidup sehat dengan
tidak memakan aneka jajanan sekolah yang terkadang mengandung bahan
berbahaya bagi kesehatan.
“Guruh,
kalau besar nanti kamu mau menjadi apa?” tanya Ka Rahmat.
“Mau
jadi seperti Christian Ronaldo.” jawab
Guruh dengan tegas.
“Kenapa
tidak jadi guru olahraga seperti ayahmu?”
“Guruh
hanya ingin menjadi pemain sepak bola. Ingin mengharumkan Indonesia. Tidak
ingin menjadi guru yang hanya berpangku tangan dan duduk di kelas.”
“Oh
begitu, tapi menjadi guru itu mulia dan merupakan amal jariah.Lebih baik kamu
menjadi guru saja.”
“Tidak
mau, Guruh hanya ingin menjadi pemain sepak bola.”
“Iya.
Kakak hanya menyarankan saja.”
“Guruh
hanya ingin menjadi pemain sepak bola. Titik.” ulangnya.
Ka Rahmat hanya dapat tersenyum
melihat tingkah laku bocah cilik yang masih duduk di bangku kelas lima SDN 2
Banjarbaru itu.
“Ka,
kenapa Kakak masih jomblo. Teman-teman Kakak semuanya sudah memiliki cewek.”
“Tidak
apa-apa. Kakak hanya ingin sendiri dulu. Kamu tidak akan mengerti apa itu cinta
yang hakiki.”
“Emangnya
apa itu cinta hakiki?” tanya Guruh
penasaran.
“Cinta
hakiki itu cinta yang suci bukan sekedar permainan yang terjalin di atas
pernikahan. Kakak tidak ingin mempermainkan perasaan cewek. Suatu saat nanti
Kakak yakin akan ada seseorang yang mendampingi hidup Kakak. Memberikan
senyuman manjanya kepada Kakak. Terkadang Kakak menyikapi rasa sepi sebagai
belenggu. Memang tidak lengkap rasanya hidup tanpa cinta. Namun, setelah Kakak
berpikir yang diutamakan sekarang bukanlah cinta, tetapi sebuah impian. Coba
kamu lihat bintang di langit ketika malam tiba. Kalau Kakak memandangnya,
impian Kakak terasa terbawa di
dalamnya.”
“Emangnya
impian Kakak apa?”
“Menjadi
guru olahraga dan membuka usaha fitnes.”
“Wah,
bagus sekali impian Kakak. Semoga dapat tercapai, Ka.”
Ka Rahmat hanya mengangguk sambil
meminum sebotol air mineral dari tangannya. Mereka memandang ke arah Lapangan
Murjani yang masih terlihat banyak orang sedang asyik jogging. Hembusan nafas keduanya menyatu dalam alunan angin lembut.
*****
“Ayah,kapan
Timnas Indonesia bisa menjadi juara pertama?”
“Tidak
tahu, Guruh. Mungkin suatu saat nanti nama Indonesia akan bersinar terang di seluruh dunia.”
“Ayah,
jika Guruh menjadi pemain sepak bola,
apa Ayah akan marah?”
“Tidak,
Nak. Ayah tidak mengharapkan kamu menjadi seperti Ayah. Kamu bebas menentukan jalan terbaik
dalam hidupmu, asalkan semua itu bermanfaat buat hidupmu ke depannya. Ayah selalu mendukungmu, Nak. Nanti kamu akan
menjadi apapun, itu adalah hak asasimu
sebagai makhluk pribadi. Kamu boleh menjadi apa yang kamu inginkan.
Mimpimu itu ada di genggaman tanganmu. Jadi kamu harus belajar yang pintar. Buat ayah dan semua keluarga bangga.”
“Iya,
Ayah. Guruh akan berjuang untuk membuat
ayah bangga.”
Ayah Guruh hanya tersenyum sambil
mengacak-acak rambut anaknya itu. Mereka masih menyaksikan pertandingan sepak
bola yang sangat menegangkan. Orang tua bukanlah mengharapkan anaknya menjadi
sosok tiruan dirinya. Akan tetapi, tersenyum bahagia di atas kebahagian
anaknya, itu saja sudah terasa cukup
bagi sosok orang tua. Mereka tidak
pernah meminta balas jasa dari anaknya.
Hal itu merupakan wujud dari keikhlasan setiap orang tua.
*****
Waktu berlalu bagaikan alunan nada
berirama merdu. Membawa segelintir pengalaman hidup bagi sebagian orang. Waktu
bukanlah segenggam uang yang dapat dibeli untuk dihentikan. Waktu adalah jalan
hidupmu. Kemarin hanyalah kenangan yang lalu,yang akan datang hanyalah angan –angan
yang tidak jelas. Sekarang bocah cilik yang terkenal dengan keluguannya itu
tumbuh menjadi pribadi berjati diri mandiri. Dia bermentalkan baja, tegar
seperti terumbu karang dalam hempasan gelombang. Tak ada kesan terindah bagi
dirinya selain kenangan bersama bola yang memberinya motivator untuk melangkah
ke arah yang lebih baik. Berkali-kali memenangkan juara futsal membuat dia
yakin bahwa mimpinya akan terwujud menjadi primadona lapangan hijau.
Dua bulan belakangan ini ayahnya
sakit-sakitan. Dia sangat mengkhawatirkan kondisi ayahnya itu. Entah apa
penyakit yang diderita ayahnya dia pun tidak tahu. Ayahnya selalu merasakan
sakit kepala di setiap waktu. Merawat ayahnya di rumah sakit itulah jalan
terbaik sekarang. Demi kesembuhan sang ayah semua harta dikeluarkan. Apalah
arti uang yang berlimpah ruah bila dibandingkan dengan kesembuhan ayahnya.
Ujian silih berganti, usaha bisnis ayahnya mengalami bangkrut hal ini
disebabkan sepinya pengunjung warnet, komputer yang tersedia mengalami
kerusakan selain itu pula menejemen keuangan tidak dikelola dengan baik. Tempat
kost yang dulunya ramai kini sepi tidak ada yang menempati seperti yang dulu.
Rasanya impian menjadi pemain sepak bola hanyalah bayangan kabur yang tak
berberkas. Berada dalam kegelisahan itulah yang dia rasakan. Hidup terkadang
berada di bawah dan di atas. Jikalau berada di atas manusia banyak bersyukur
dan memberi tetapi jikalau di bawah manusia harus sabar dan tidak berputus asa.
Roda-roda kehidupan terus berputar dan takkan terhenti. Hidup dia memang berada
di bawah ingin rasanya dia berteriak menghilangkan beban jiwa agar terkikis
jeritan hati yang kian menyiksa. Dia goyah dan lemah. Siapa yang dapat
menolongnya selain pertolongan dari Sang Ilahi. Dia membasuh relung jiwa yang
bersimbah dosa lewat tangisan air mata. Hatinya bertobat, dia sadar bahwa dia
lupa untuk mengingat-Nya Sang Pencipta Alam Semesta Raya. Dia hanya dapat
berdoa agar kerikil-kerikil yang dialaminya dapat berlalu dan tak lupa dia
selalu panjatkan doanya untuk kesembuhan ayahnya.
“Maaf
kami hanya dapat menolong tapi Allah juga yang berkehendak. Ayahmu tidak dapat
diselamatkan karena kanker otaknya itu sudah memasuki stadium tiga.” kata Dokter ikut berduka.
Bagaikan suara ledakan meriam
mendengar perkataan Dokter yang mengerikan. Tubuhnya lunglai namun langkahnya
tergopoh-gopoh menuju ruang ICU. Dia hanya mampu menatap tubuh ayahnya yang tak
bernyawa. Figur ayahnya yang dikenalnya kini telah meninggalkannya
selama-lamanya. Teringat perkataan ayahnya sewaktu pergi ziarah ke Kalampayan.
”Lelaki sejati itu tidak pernah menangis dan mengatakan dirinya kuat di saat
dia lemah. Kau harus menjadi lelaki sejati anakku.” Itulah nasehat terakhir
yang disampaikan ayahnya sebelum nafas itu tak
berhembus lagi. Kepergiaan ayahnya membuat dia terpuruk bahkan semua
impian yang dia genggam erat sebelumnya kini hanyalah seperti butiran pasir di
gurun sahara yang terbang diterjang sang angin.
Detik bergantikan menit, menit
bergantikan jam, siang bergantikan malam, hari bergantikan bulan, bulan bergantikan
tahun. Dia melalui hari beserta ibunya dengan senyum tangis kebahagiaan. Hari
yang dia lalui tak jemu bernyanyi melantunkan syair-syair gerimis dalam
hidupnya membuat dia tegar berdiri untuk menapak.
“Ibu,
Guruh sudah lulus SMA. Izinkan anakmu ini meraih mentari. Mungkin bukan menjadi
pemain sepak bola yang menjadi garis takdir Guruh, Ibu. Tetapi, menjadi
penolong bagi sesame itulah yang digariskan-Nya untuk Guruh. Anakmu ini ingin
menjadi Dokter, Ibu. Apa Ibu mengizinkan anakmu ini?”
“Anakku
engkau sudah dewasa sudah mengetahui apa yang harus kamu lakukan. Masa depanmu
ada ditanganmu, nak. Ibu hanya dapat mendukungmu. Doa Ibu untukmu selalu
anakku. Semoga kamu dapat meraih mimpi yang kamu harapkan.”
“Terima
kasih, Ibu.” kata Guruh sambil memeluk erat dekapan hangat dari tubuh renta
Ibunya.
Melewati segala macam rintangan dan
halangan sangatlah berat. Jika tidak kuat maka akan jatuh bahkan tak mampu
menapak jejak kehidupan ini. Diperlukan semangat yang kuat dan kesabaran
tingkat tinggi untuk mencapai apa yang diharapkan. Jangan pernah bersembunyi di
balik cangkang, hadapilah realita kehidupan dengan selalu berprasangka baik
akan garis takdir Ilahi.Mungkin hal inilah yang diterapkan Guruh dalam
hidupnya. Dia terus berkibar mengejar mentari.
Mesjid
Nahroba terlihat sekali banyak lelaki
yang ingin melakukan salat Jumat. Suara kumandang azan menggema semua para
lelaki menuju ke mesjid untuk melaksanakan kewajibannya.
“Guruh? Iyakan?” tanya seorang pemuda.
“Iya,
maaf anda siapa?”
“Aku
Rahmat. Lama tak jumpa kamu ternyata kamu sudah sebesar ini. Setelah aku keluar
dari rumah kost aku sangat rindu denganmu. Sekarang kamu tinggal di mana? Aku
mencarimu di rumahmu tapi kamu tidak ada.”
“Iya,
lama sekali sudah hampir tujuh tahun. Tinggal di balitrra, ayah sudah meninggal
karena kanker otak. Bisnis ayah bangkrut terpaksa menjual rumah kost untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Rumah sudah dijual buat kesembuhan ayah. Semua
kekayaan yang pernah ada kini telah hilang. Rasanya kebahagiaan itu tidak
pernah akan aku rasakan lagi, ka.”
“Benarkah? Astagfirullah aku turut berduka cita atas
kepergiaan ayahmu. Aku tahu kamu pasti kuat, Guruh. Disetiap kesulitan pasti
ada kemudahan. Guruh, izinkan aku membalas jasa keluargamu. Aku dapat menjadi
guru olahraga dan membuka usaha fitness seperti sekarang ini karena bantuan
keluargamu. Tahu tidak, demi kuliahku
rela menjual mobil sedan kesayangannya. Dan Ibumu selalu mendoakanku
agar dapat mewujudkan mimpiku.Menjadi sukses seperti sekarang inilah yang
keluargamu harapkan. Maukah kamu menjadi bagian keluargaku tinggallah bersama
kami.”
“Terima
kasih, Ka Rahmat.” katanya memeluk tubuh Ka Rahmat.
Ka Rahmat pun membantu
Guruh mewujudkan mimpinya mengejar mentari.Guruh memiliki tingkat ketekunan dan
keyakinan yang tinggi dalam mimpinya sehingga lima tahun kuliah di Fakultas
Kedokteran kini sang pengejar mentari itu menjadi dokter yang bersinar namanya
karena kebaikan dan ketulusan hatinya dalam menolong sesama.
Kebaikan diri seseorang
mungkin hanya dapat dikenang, entah suatu saat nanti akan atau tidak yang pasti
Allah selalu membalas kebaikan hambanya melalui jalan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar